16

29.8K 3.8K 124
                                    

Kamis (15.03), 11 April 2019

--------------------------

Pagi ini, rumah Dennis yang biasanya sepi menjadi gaduh dengan kehadiran Ellen. Terutama saat Ellen berniat memasak dengan bahan masakan seadanya yang kemarin dibeli Dennis melalui Henry. Kondisi tubuh Ellen—terutama kaki—membuatnya kesulitan memasak. Karena itu Dennis turun tangan membantu.

Tapi sayangnya, kemampuan Dennis di dapur amat sangat mengerikan. Dia bahkan tidak tahu di mana tempat menyimpan alat-alat memasaknya. Selama ini yang dilakukan Dennis di dapur memang hanya sebatas memanggang, menggoreng makanan beku, menghangatkan, membuat mie instan, serta membuat kopi atau teh. Selain itu, jangan tanyakan apapun padanya atau dia hanya akan menatap dengan raut datar yang menyebalkan.

"Kau tidak punya beras atau rice cooker. Dan juga tidak ada roti," keluh Ellen.

"Kemarin Henry beli banyak sayuran dan daging. Kalau kurang, tambahi mie instan. Ada satu kardus di lemari sudut."

Ellen menoleh menatap Dennis kesal. "Tidak boleh sering-sering makan mie instan. Apa kau tahu kandungan berbahaya dalam mie instan?"

"Enak, murah, dan mudah," kata Dennis datar.

Rasanya Ellen ingin mencakar raut datar di hadapannya. Dennis memasang tampang begitu setelah bercerita sedikit tentang masa lalunya. Sepertinya dia menyesal telah bercerita pada Ellen.

"Jangan sembarangan memilih makanan. Kau juga harus mementingkan kandungan gizi dalam makanan yang masuk ke tubuhmu."

Dennis mendengus. "Itu hanya pemikiran orang kaya sepertimu. Untuk penjual kayu bakar miskin sepertiku, makan untuk mengobati lapar. Tidak perlu memikirkan gizi dan sebagainya. Enak, murah, dan mengenyangkan, akan langsung kumakan."

Selama beberapa saat, Ellen tidak mengatakan apapun. Hanya memandang mata biru Dennis yang menyorot tajam. Lalu dia mendesah seraya mengibaskan tangan dan kembali fokus pada masakannya.

"Baiklah, terserah. Tolong ambilkan piring."

Setelahnya pembicaraan mereka hanya sebatas makanan yang sedang Ellen masak. Lebih tepatnya, Ellen yang menyuruh Dennis melakukan sesuatu dan hanya dibalas Dennis dengan anggukan atau deheman.

Usai sarapan, tampak jelas Dennis menjaga jarak dari Ellen, seolah takut dia akan keceplosan bicara lagi jika ada di dekat wanita itu. Sikapnya kembali dingin dan jauh. Tapi lucunya, dia selalu memperhatikan Ellen dengan mengingatkan wanita itu minum obat atau membuatkan teh dan mengambilkan air minum.

Menjelang siang, Dennis sibuk membelah kayu-kayu lalu menjemurnya karena siang ini cukup panas. Sementara Ellen mencari ide hendak membuat masakan apa dengan bahan seadanya di dapur Dennis. Saat itulah ponsel Ellen berbunyi menandakan ada panggilan masuk yang ternyata dari ayahnya. Sesuatu yang sudah Ellen duga mengingat dia pergi dari rumah tanpa pamit pada sang Ayah.

"Halo, Ayah," sapa Ellen dengan nada seriang mungkin.

"Hai," balas James Morris lembut. "Sudah sampai mana?"

Ellen menggigit bibir, ragu hendak jujur atau berbohong. "Ehm, aku masih di rumah teman."

"Teman siapa? Sunny?" James menghela napas. "Ayah dengar ibumu mengusirmu. Kami sempat bertengkar karena hal ini. Apalagi kondisi kakimu masih seperti itu."

Mendadak rasa sesak mencengkeram dada Ellen, membuat gumpalan kesedihan menyumbat tenggorokannya.

James pasti tidak tahu bahwa Rennie juga melakukan kekerasan fisik pada Ellen. Kalau sampai tahu, Ellen tidak bisa membayangkan akan semarah apa sang Ayah.

His Eyes (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang