42

25.6K 3.4K 223
                                    

Sabtu (17.38), 16 November 2019

-----------------------------

Dennis menghela napas entah untuk yang keberapa kali begitu mobilnya memasuki halaman sebuah rumah megah. Jantungnya berdegup sangat cepat, memikirkan kira-kira reaksi apa yang akan diterimanya. Apalagi kedatangannya hari ini tanpa pemberitahuan sebelumnya.

"Kita turun sekarang?" Ellen yang duduk di kursi sebelah penumpang bertanya pada Dennis.

Dennis menoleh menatap Ellen lalu memegang tangan wanita itu. "Jangan khawatir. Semua akan baik-baik saja."

Ellen nyaris saja tertawa lepas. Beruntung dia masih bisa menahan diri. "Siapa yang kau nasihati? Aku atau dirimu sendiri?"

Dennis berdehem. "Tentu saja dirimu. Aku merasa baik-baik saja."

"Tapi tanganmu dingin sekali."

"Cuacanya agak dingin."

Tawa geli Ellen lepas. Tapi dia berhasil segera menguasai diri. Ini tempat baru. Tentu dirinya tidak ingin menciptakan kesan buruk.

"Sudahlah, ayo masuk saja!" tanpa menunggu tanggapan, Dennis bergegas keluar. Rasa khawatirnya kian meningkat. Tapi dia pura-pura baik-baik saja di depan Ellen meski tampaknya sang kekasih tahu perasaan Dennis yang sebenarnya.

Ellen keluar dari mobil lalu menghampiri Dennis yang menatap mobil-mobil lain di halaman. Mobil-mobil itu tampak mewah dan jelas sangat mahal.

"Sepertinya aku salah memilih waktu. Mungkin sedang ada acara tertentu. Sebaiknya kita kembali dan datang lagi lain kali."

Saat Dennis hendak berbalik, Ellen merangkul lengan lelaki itu dan memeluknya erat. Senyum tertahannya tampak di bibir melihat wajah gusar Dennis.

"Kalau kita pergi sekarang, kau akan mengulur waktu lagi. Sintha sudah mencecarku habis-habisan, menanyakan kapan kau akan menemui keluargamu. Lagipula, bukankah lebih cepat lebih baik?"

Dennis menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dengan sorot frustasi. Lalu pandangannya terarah pada mobil-mobil yang terparkir di halaman.

"Aku tidak berniat mengulur waktu. Kita akan menginap di rumah Sintha. Jadi besok—"

"Wah, keluargamu pasti sangat kaya," gumam Ellen memuji, sengaja mengabaikan ucapan Dennis. Dia berjalan menuju pintu dan otomatis menarik Dennis bersamanya.

Dennis mendesah, sadar mau tak mau dirinya harus menghadapi momen ini. Pertemuan yang—entahlah. Dirinya tidak bisa menebak seperti apa hasilnya. Bisa saja keluarganya sangat marah. Atau mungkin ini akan jadi pertemuan mengharukan. Entah yang mana, rasanya keduanya akan sangat memalukan bagi dirinya karena ia pergi begitu saja tanpa pamit.

"Ayo!" desak Ellen tak sabar karena Dennis masih mematung di depan undakan menuju beranda. Ellen kembali menarik lengan lelaki itu menaiki undakan hingga tiba di depan pintu kembar.

Dennis menghela napas. Lalu tangan kanannya terangkat mengetuk pintu sementara Ellen melepas rangkulannya, membuat Dennis menatapnya tajam.

"Kenapa?"

"Hmm, kau belum mengenalkanku pada keluargamu. Rasanya aneh kalau—"

"Kalau begitu begini saja." Dengan tangan kirinya Dennis menggenggam jemari Ellen lalu sekali lagi mengetuk pintu.

"Ngomong-ngomong, apa belnya tidak berfungsi?"

Dennis menoleh ke arah yang ditunjuk Ellen lalu menoleh menatap wanita itu dengan wajah malunya yang tertahan. "Kenapa tidak bilang dari tadi?"

Ellen menutup mulut dengan punggung tangan yang bebas untuk menahan tawa gelinya. "Mana aku tahu? Ini kan rumahmu."

"Biasanya aku masuk tanpa mengetuk atau menekan bel," gerutu Dennis seraya menekan bel. Kali ini tak lama kemudian pintu terbuka, menampakkan wajah yang amat familiar. Pelayan yang sudah bekerja bersama orang tua Dennis sejak rumah ini dibangun.

His Eyes (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang