38b

25.5K 3.2K 117
                                    

Sabtu (19.50), 28 September 2019

--------------------------

Baru dua hari di perusahaan, Ellen sudah kewalahan. Bagaimana tidak? Mengurus perusahaan milik sang Ayah tidak pernah menjadi impian Ellen. Dia tidak pernah sedikitpun berpikir ikut campur dalam perusahaan itu. Bahkan jika sang Ayah menyerahkan kepemilikan sepenuhnya pada Ellias, Ellen sama sekali tidak keberatan.

Tapi takdir menginginkan hal lain. Keluarganya yang utuh dan Ellen pikir harmonis, hancur dalam sekejap mata hingga mau tak mau Ellen harus membanting arah rencana hidupnya.

Ellen mendesah seraya menghapus air mata yang bergulir lalu buru-buru turun dari ranjang.

Tidak ada gunanya berkeluh kesah, kan? Meski semuanya terasa sangat berat karena Ellen tidak pernah meluangkan waktu untuk tahu apa saja yang ayahnya kerjakan, meski para pegawai meragukan kemampuannya, bahkan meski—mungkin—akhirnya Ellen hanya mengacau karena ketidaktahuannya, dia tetap harus menjalaninya. Setidaknya itu yang bisa dirinya lakukan sebagai anak James.

Usai mandi, Ellen segera mengenakan pakaian formal yang bisa ditemukannya. Sejenak dia menghabiskan waktu untuk berias. Bukan dengan tujuan mempercantik diri. Tapi lebih untuk menutup bekas tangisnya yang tak kuasa ia cegah.

Drrttt...

Ellen menoleh ke arah ponselnya di atas nakas setelah ia memoles lipstik tipis di bibirnya. Melihat nama yang tertera di layar telepon, desah sedih Ellen terdengar jelas. Lalu dia menghela napas panjang untuk menguatkan diri.

"Halo...." Sejenak dia mendengarkan ucapan orang di seberang telepon yang terdengar menjelaskan dengan antusias. Lalu Ellen menyela dengan nada menyesal, "Aku minta maaf. Tapi... sepertinya aku tidak bisa melanjutkan...." Ellen tercekat. Dadanya sesak saat dia harus menolak kesempatan langka yang begitu dinantikannya.

Setelahnya Ellen menjelaskan tentang kematian sang Ayah yang mengharuskannya mengurus perusahaan. Tentu sedikit memoles ceritanya. Bagaimanapun apa yang menimpa keluarganya merupakan aib yang tidak bisa ia ceritakan pada semua kenalannya. Demi menghormati almarhum James. Demi Ibunya dan Ellias yang masih Ellen anggap keluarga meski mereka telah menyakitinya. Dan demi dirinya sendiri, yang masih sangat terluka serta berduka.

Terdengar jelas penanggung jawab acara memasak internasional yang menelepon Ellen sangat kecewa atas keputusan Ellen. Tapi dia menerimanya dan mengerti keadaan Ellen. Entah apa benar begitu. Ellen tak peduli lagi. Dia tidak mau menambah sakit hatinya dengan menerka perasaan orang yang telah ia kecewakan.

Di ruang makan, Ellen tidak bisa menahan diri untuk menceritakan apa yang telah dipilihnya pada ketiga tamunya. Air mata Ellen terus mengalir tapi dia berusaha untuk tidak menangis tersedu seperti anak kecil.

Sintha menepuk punggung Ellen untuk menenangkan. "Itu pengorbanan yang sangat berat. Mungkin sebaiknya kau tidak pergi bekerja hari ini."

Ellen tersenyum penuh ironi seraya menghapus air matanya dengan tisu yang sejak tadi menemani seiring ia berbagi cerita. "Mana mungkin? Ini baru hari ketiga. Saat ini pegawai di sana meragukanku dengan tatapan mereka. Kalau aku menambah kesan buruk dengan tidak masuk sekarang, mereka pasti akan lebih berani. Aku tidak yakin bisa sanggup menanggung hal itu."

Sintha menoleh ke arah Xavier dan Dennis yang sejak tadi diam. "Apa tidak ada yang bisa kalian lakukan?"

"Itu bagian dari proses," celetuk Xavier. "Kalau Ellen memang berniat mengambil alih peninggalan James, maka dia harus bisa mendapat kepercayaan para pegawai di sana. Dia harus membuktikan bahwa dia pantas dan sanggup menjalankan serta mengembangkan perusahaan."

"Tapi aku tidak tahu apapun," lirih Ellen.

"Kau hanya perlu belajar," Dennis meyakinkan seraya menggenggam jemari Ellen.

His Eyes (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang