4

33.8K 4K 109
                                    

Minggu (13.44), 24 Maret 2019

-----------------------

Ellen memasang tudung jaketnya sebelum keluar dari mobil. Sesuatu yang tampak dibungkus tas kresek Ellen dekap di depan dada saat ia berlari kecil melintasi halaman menghindari hujan yang mengguyur, menuju kediaman Dennis Anthony.

Tiba di teras rumah Dennis, Ellen baru bisa menghela napas lega karena dirinya tidak basah kuyup atau terpeleset. Hujan semakin deras mengguyur, membentuk tirai di halaman rumah Dennis yang menghalangi pandangan.

Tok... tok... tok....

Ellen mengetuk pintu seraya membuka tudung jaketnya. Tidak butuh waktu lama sampai terdengar suara kunci diputar lalu daun pintu di depan Ellen bergerak terbuka.

Ellen tersenyum manis pada orang yang menatapnya dingin. Setidaknya kali ini Dennis menemuinya dengan berpakaian lengkap.

"Hai," sapa Ellen.

Dennis melipat kedua tangan di depan dada sementara bahunya bersandar di ambang pintu. "Mau mengambil wadah kue kemarin?"

"Iya," Ellen mngangguk. "Seperti kataku tadi pagi."

"Tuh." Dennis mengedikkan dagu ke arah meja di teras.

Ellen menoleh, mendapati bungkusan seperti yang dibawanya kemarin. Masih tampak utuh seolah tidak dibuka sama sekali. Lalu dia kembali menatap Dennis dengan senyum merekah.

"Ternyata kau sudah menungguku datang."

Dennis mendengus. "Atau itu berarti aku tidak ingin menahanmu lebih lama. Jadi begitu kau datang, kau bisa segera angkat kaki dari rumahku."

Ellen agak mengkerut ketakutan merasakan tatapan, sikap, dan nada bicara yang sama sekali tak bersahabat itu. Tapi di sisi lain dirinya malah tertantang. Sesuatu yang awalnya hanya kekaguman terhadap Dennis dari jauh, perlahan berubah menjadi keinginan kuat untuk menerobos pagar tinggi yang dibuat Dennis.

"Bahkan dalam cuaca seperti ini?" tanya Ellen memancing rasa simpati Dennis.

"Bukankah kau datang saat cuaca seperti ini. Jadi apa bedanya kau pulang sekarang juga?"

"Masalahnya tadi aku datang saat hujan belum... hei!" Ellen buru-buru menahan Dennis yang hendak masuk ke rumah lalu menutup pintu. Dia nyengir saat Dennis menatapnya dengan kesal lalu mengulurkan tangan yang memegang bungkusan tas kresek. "Ini bukan kue. Bubur ayam. Masih hangat."

Dennis hanya melirik tas kresek di tangan Ellen. "Buatan Ibumu lagi?" tanyanya dengan nada mengejek.

"Emm, aku yang membuatnya."

Perhatian Dennis beralih ke wajah Ellen lalu matanya menyipit. "Apa ada wadah makanannya juga?"

"Ah, tentu saja. Kalau langsung dimasukkan ke tas kresek...."

BRAK!

Ellen tersentak saat pintu di depannya menutup tiba-tiba. Lalu bibirnya mengerucut kecewa menyadari pemberiannya ditolak Dennis. Tapi belum sempat dia berbalik menjauh, mendadak pintu itu terbuka lagi lalu Dennis keluar sambil membawa sendok dan tanpa kata menuju kursi teras.

"Letakkan di sini," katanya seraya menunjuk meja di sampingnya.

Ellen yang semula masih terpaku di tempat segera menyadari maksud Dennis dan bergegas mengeluarkan wadah bubur dari dalam tas kresek lalu meletakkannya di depan Dennis. Dengan cekatan dia melepas tutup wadah makanan.

"Kau akan langsung memakannya?" tanya Ellen seraya duduk di kursi yang lain.

"Iya. Jadi kau bisa langsung membawa wadahnya pulang dan tidak lagi memiliki alasan untuk datang ke rumahku." Dennis berkata serius lalu mulai menunduk memakan dengan lahap bubur ayam pemberian Ellen.

His Eyes (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang