20

29.5K 3.4K 236
                                    

Jumat (16.50), 26 April 2019

-------------------------

Ellen duduk di kursi samping pengemudi mobil polisi Ryno dengan kacamata hitam untuk menutupi mata sembapnya. Jemarinya saling tindih di pangkuan. Dia tampak santai, meski sebenarnya jantungnya berdegup amat cepat. Khawatir apa yang akan dihadapinya beberapa menit lagi.

Di sebelahnya, Ryno juga tampak santai. Tapi diam-diam dia mengawasi Ellen, mencari tanda-tanda kegugupan seperti maling yang aksinya nyaris ketahuan.

Ya, Ryno sama sekali tak memercayai ucapan Ellen. Dia yakin sekali Ellen pasti bersama Dennis sejak diusir dari rumah hingga James datang menjemput. Semuanya terlalu kebetulan jika ternyata Ellen benar-benar menghabiskan malam kemarin di penginapan.

Sudut bibir Ryno melengkung membentuk senyum sinis. Ellen salah jika berharap kebohongannya bisa melindungi Dennis. Yang Ellen hadapi bukanlah anak kemarin sore yang bisa ditipu dengan mudah. Ryno adalah polisi berpengalaman. Kebohongan yang dilotarkan Ellen akan dengan mudah ia patahkan.

Tiba di penginapan yang dimaksud Ellen, Ryno memarkir mobilnya lalu keduanya turun. Meski terbilang merupakan penginapan terbesar di sini, penginapan ini hanya terdiri dari dua lantai. Bahkan kamar-kamarnya sebagian besar berada di lantai pertama, menandakan lantai kedua baru saja dibangun.

Ryno dan Ellen berjalan beriringan memasuki lobby dan langsung menuju ruang resepsionis. Devi yang berada di balik meja resepsionis terbelalak melihat siapa yang datang.

Ya, kabar mengenai James Morris dengan cepat menyebar. Seluruh penduduk di kota itu tengah membicarakannya sejak jasad James ditemukan.

Devi yang sudah mengenal Ellen sangat lama tak kuasa menahan diri untuk keluar dari balik meja resepsionis lalu memeluk wanita itu. Matanya berkaca-kaca saat mengecup lembut pipi Ellen.

"Aku turut berduka, Nak," kata Devi setelah melepas pelukannya. Dari dulu dia menyukai Ellen dan berharap memiliki anak perempuan seperti wanita itu. Sayangnya dia hanya bisa memiliki seorang putra yang kini telah duduk di bangku SMA. "Kau harus kuat."

Ellen melepas kacamata hitamnya lalu mengangguk sambil berusaha tersenyum. Itu sangat berat. Apalagi melihat mata Devi yang sepertinya tak kuasa menahan tangis, dia sendiri menitikkan air mata.

"Terima kasih." Hanya itu yang bisa Ellen ucapkan.

Devi mengangguk seraya menangkupkan tangan kanannya di pipi Ellen, berharap bisa menyalurkan kekuatan.

Ryno yang berdiri di samping kedua wanita itu mulai tak sabar. Dia berdehem sejenak sebelum berkata, "Maaf, Vi. Tapi kami buru-buru. Ellen berniat mengambil barang-barangnya di sini."

"Oh, kenapa kau repot-repot datang? Kau bisa menelepon dan aku akan menyuruh seseorang mengirim barang-barangmu."

Ryno mengerutkan kening. "Jadi Ellen benar-benar menginap di sini?"

"Ya, tentu saja." Devi mengangguk. "Bahkan—astaga! Kemarin James terlihat sehat ketika datang menjemput Ellen. Siapa sangka hari ini dia sudah—" Devi terdiam saat melihat Ellen memalingkan wajah. Ekspresinya tampak menyesal. "Ellen, aku tidak bermaksud membuatmu semakin sedih."

Ellen menggeleng. "Aku hanya belum bisa menerimanya." Dan entah kapan dirinya bisa.

"Sebaiknya kami mengambil barang-barang Ellen sekarang agar dia bisa segera istirahat," sela Ryno lagi.

"Oh, baiklah."

"Tapi Bibi Devi, aku kehilangan kunci kamar yang kutempati. Aku bahkan tidak ingat apa sudah menguncinya lagi atau belum."

His Eyes (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang