8

32.3K 3.8K 133
                                    

Minggu (19.14), 31 Maret 2019

--------------------------

Malam ini Ellen gelisah. Matanya sulit terpejam. Ingatannya terus melayang pada Dennis dan bagaimana lelaki itu sudah menolaknya bahkan saat Ellen baru melangkah mendekat.

Tidak, Ellen tidak berniat menjalin hubungan seperti yang dituduhkan ibunya dengan Dennis. Meski otaknya terus menampilkan adegan memalukan dengan Dennis dan dirinya sebagai tokoh utama, namun Ellen tulus ingin berteman dengan lelaki itu.

Dennis tampak kesepian dan menyimpan rasa sakit dibalik topeng dingin yang menyelubungi dirinya. Dia juga membentengi diri dengan sangat rapat, membuat siapapun tidak berani mendekat.

Apa kau benar-benar tidak punya harga diri? Menyodorkan tubuhmu dengan sukarela pada sampah itu? Kenapa tidak sekalian berdiri telanjang di tengah alun-alun kota?

Ellen menghela napas merasakan sesak di dadanya akibat ucapan sang ibu yang menurutnya sangat keterlaluan. Ibunya memang cerewet dan sering melarang banyak hal. Meski kerap kali membuat kesal, tapi masih wajar karena itu berarti sang ibu mneyayanginya dan mengkhawatirkannya.

Tapi sejak mendengar gosip tentang Ellen yang sarapan bersama Dennis Anthony, ucapan ibunya jadi semakin kasar dan menyakitkan. Hingga Ellen bertanya-tanya apa ada hubungan buruk antara Dennis dan ibunya atau ibunya berubah dan Ellen tidak menyadari itu karena sudah dua tahun sejak terakhir kali mereka bertemu.

Ah, iya aku lupa. Dia memang anak kesayanganmu. Jadi wajar kalau kau terus membelanya meski salah.

Bahkan sikap sang ibu pada ayahnya pun bisa sangat kasar. Tuduhannya benar-benar di luar akal sehat padahal selama ini James tidak pernah bersikap tidak adil.

Sadar dirinya tidak akan bisa tidur, Ellen turun dari ranjang lalu keluar kamar. Tujuannya adalah kamar Ellias yang berada tepat di samping kamarnya.

Tok... tok... tok....

Ellen menunggu selama beberapa saat lalu terdengar kunci diputar sebelum pintu terbuka, menampakkan sosok Elias dengan headset di lehernya.

"Kau belum tidur?"

"Kalau kau ke sini hanya ingin menanyakan itu, sebaiknya kembali k kamarmu, Kak." Ellias melipat kedua tangan di depan dada, menampilkan raut kesal.

Ellen nyengir. "Bukan begitu. Aku ingin bertanya sesuatu." Lalu tanpa permisi dia masuk ke kamar Ellias dan langsung menghempaskan tubuh di atas ranjang empuk sang adik. Sepertinya tadi Ellias tengah bermain game online dan kebetulan tidak mengenakan headsetnya hingga langsung mendengar suara ketukan pintu.

"Ingin bertanya apa?" tanya Ellias yang langsung tidur telungkup di samping Ellen dan kembali memfokuskan diri pada gadget di tangannya.

"Mengenai ibu." Ellen memulai. "Apa menurutmu ibu agak berubah? Mungkin beberapa bulan terakhir. Misalnya cepat marah yang berlebihan atau semacamnya."

"Dari dulu Ibu memang pemarah, kan?"

"Hmm, iya sih. Tapi apa sekarang tidak lebih parah lagi? Sampai mengeluarkan kata-kata yang tidak masuk akal."

Atau jangan-jangan hanya kepadaku? Pikir Ellen. Apa seperti dalam film-film, mendadak ibunya baru menyadari bahwa Ellen bukan anak kandung?

Ellias terdiam, tampak berpikir.

"Atau apa akhir-akhir ini Ibu dan Ayah sering bertengkar?" lanjut Ellen. "Aku hanya merasa Ibu agak berubah."

"Tidak sering. Beberapa kali iya. Dan yah, terkadang jika sudah marah mengenai sesuatu, Ibu bisa berbicara kasar yang menyakitkan hati. Seperti beberapa bulan lalu, dia sampai bilang menyesal telah melahirkan aku," Ellias angkat bahu.

His Eyes (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang