43

23.1K 2.6K 165
                                    

Jumat (20.35), 20 Maret 2020

-----------------------------

"Apa-apaan ini?!"

Suara bernada marah itu menyadarkan Aira dan Dennis dari suasana rindu dan haru yang mengelilingi mereka. Dengan malu keduanya menjauhkan diri, namun sama-sama melempar senyum pada satu sama lain layaknya teman lama. Layaknya saudara yang sangat akrab, saling mengerti tanpa kata di antara mereka.

Sementara itu, lelaki muda yang usianya baru menginjak awal dua puluhan, menatap keduanya dengan garang. Dariel, lelaki itu, sungguh tak memercayai penglihatannya. Tadi dia menemani Aira mencari minyak kayu putih karena sang istri mengaku sakit perut. Lalu dia tertahan sebentar di kamar mandi sementara Aira kembali ke ruang keluarga lebih dulu.

Tak ia sangka, pemandangan ini yang ditemukannya. Sang istri berpelukan dengan mantan kekasih. Bahkan tampaknya sakit perut Aira mendadak sembuh. Bagaimana hati Dariel tidak mendidih panas?

Dariel tak lagi memedulikan di mana dirinya berada. Tak peduli bahwa orang di sekitarnya adalah keluarga Dennis. Meski mereka sangat baik, tetap menganggap dan memperlakukan Aira seperti anak bahkan menerima dirinya yang bisa dibilang musuh Dennis, namun Dariel tak akan pernah diam saja melihat istrinya berpelukan dengan lelaki lain, apalagi itu mantan kekasih yang pernah melukai mereka berdua.

Dariel bergegas menghampiri keduanya lalu menarik Aira mundur seraya berdiri di depan sang istri, menjadi penghalang di antara sang istri dan Dennis. Dagunya terangkat angkuh, menatap mata biru terang Dennis sengit.

"Aku tidak ingin menyinggung perasaan semua orang di sini. Tapi sejujurnya, aku tidak bisa bilang senang melihatmu bebas setelah kau memeluk istriku." Dengan sengaja Dariel menekan kata terakhirnya agar Dennis sadar bahwa Aira adalah miliknya.

Yang diajak bicara malah tersenyum geli sekaligus mengejek. Sesuatu yang tak diduga Dariel karena seingatnya Dennis sangat mudah terpancing amarah. Apakah penjara benar-benar bisa mengubah kepribadian seseorang?

Dengan santai Dennis menyelipkan kedua tangan di saku depan celana jinsnya. "Lama tidak bertemu, bocah. Bagaimana sekolahmu?"

Mata Dariel melebar mendengar nada mengejek Dennis. Dengan sengaja Dennis menunjukkan bahwa Dariel masih anak-anak. Dan hal itu berhasil memancing amarah Dariel lebih tinggi.

"Dennis," Elena memperingatkan pelan, tak ingin ada pertengkaran dalam rumahnya.

Dia dan keluarganya memang tak pernah menyalahkan Dariel dan Aira atas insiden empat tahun lalu. Mereka sadar Dennis yang salah. Lalu Aira sudah seperti keluarga bagi mereka. Itu sebabnya Aira dan Dariel selalu disambut dengan hangat di rumah mereka.

"Tidak perlu mengkhawatirkan sekolahku, Om," geram Dariel, berharap bisa balik mengejek lelaki tua di hadapannya. "Aku sanggup lulus tepat waktu dan mengurus keluargaku dengan baik. Oh, ngomong-ngomong apa kau sudah berkenalan dengan putri kami, Elora?"

Refleks Dennis menoleh ke arah balita yang dikenalkan Mommynya tadi lalu kembali menatap Dariel. "Oh, jadi dia...."

"Tepat sekali," kali ini Dariel bisa berkata dengan nada puas, merasa menang dari Dennis.

Dennis tersenyum. Kali ini senyum tulus seraya menoleh ke arah Aira yang agak tersembunyi dibalik punggung Dariel. "Aku jadi merasa bersalah atas ucapanku di penjara waktu itu. Maafkan aku."

Aku ingin mengatakan selamat untuk kalian. Tapi bisakah kita tidak bertemu lagi setelah ini? Setidaknya hargai hatiku yang sudah hancur. Jangan pernah muncul lagi di hadapanku, terutama dengan senyum bahagia itu.

Aira juga ingat dengan jelas ucapan Dennis hari itu. Terasa menyakitkan dan membuatnya diliputi rasa bersalah. Tapi kini, melihat Dennis yang tampaknya sudah memaafkan dirinya, Aira bisa mengenang hari itu tanpa dipenuhi rasa sakit lagi.

His Eyes (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang