18a

28.8K 3.6K 197
                                    

Senin (17.29), 15 April 2019

-----------------------------

Aparat polisi segera memasang garis kuning di sekitar mayat yang tergeletak bersimbah darah di tepi hutan. Tanpa perlu memeriksa lebih jauh, semua orang langsung mengenali identitas mayat itu karena wajahnya sama sekali tidak hancur. Hanya berubah sangat pucat, menandakan tak ada lagi darah yang mengalir dalam nadinya. Tak ada kehidupan.

Polisi tampak kewalahan menghalau warga yang berdatangan penuh rasa ingin tahu. Mereka penasaran mengenai kabar yang menimpa salah satu orang nomor satu di kota kecil itu. James Morris.

Mayat James ditemukan seorang warga yang melewati area itu. Berita dengan cepat menyebar bersamaan dengan kedatangan polisi. Buru-buru aparat polisi memasang garis kuning di sekitar kejadian untuk memastikan sidik jari atau bukti-bukti yang kemungkinan tertinggal di tempat itu tidak rusak.

Mobil yang dikemudikan Ellias belum berhenti benar saat Ellen langsung membuka pintu lalu melompat keluar. Dia menahan sakit di kakinya dan langsung melewati warga, berjalan sedekat mungkin ke arah mayat yang masih tergeletak, menunggu tim forensik datang memeriksa.

"AYAHHH!"

Teriakan histeris Ellen menggema di pagi itu, membuat siapapun yang mendengar merinding. Kedukaan wanita itu terasa hingga menyentuh relung hati, membuat banyak orang tak kuasa menahan tangis.

"Ayahhhh!"

Ellen bahkan tidak sadar kalau sekarang dirinya sudah berada dalam dekapan Ryno Kirton. Kata-kata hiburan yang dibisikkan si Kepala polisi sama sekali tak masuk ke dalam pendengaran Ellen.

"Ayah."

Berbeda dengan Ellen yang menangis terisak dan terus meronta ingin menghambur ke arah mayat James, Ellias terpaku di dekat garis kuning. Lalu tubuhnya serasa lemas. Dia jatuh berlutut dengan tatapan masih terarah pada mayat James. Air mata kepedihan mengalir membasahi pipinya.

"Ayahhh!"

Ellen terisak memilukan. Rontaannya melemah seiring tenaganya yang terkuras.

"Aku ingin mendekati Ayah. Aku ingin memeluknya. Dia pasti kedinginan berbaring di situ...," isak Ellen membuat miris hati siapapun yang mendengar.

Ryno menarik Ellen agak menjauh dari lokasi kejadian seraya berbisik, "Kami masih harus memeriksa jasadnya Ellen."

Kembali Ellen meronta. "Kenapa Paman bilang jasad? Ayahku masih hidup! Semalam dia masih memelukku. Semalam dia masih menciumku."

Tangis Ellen semakin pecah lalu tubuhnya melemas. Dia jatuh bersimpuh di atas rumput basah di tepi hutan itu, sambil sesekali memukul dadanya untuk menghentikan rasa nyeri yang menghimpit.

Ryno berjongkok di hadapan wanita itu. "Ellen—"

"Biar aku saja, Paman."

Ryno mendongak lalu berdiri, membiarkan Ellias yang menenangkan sang kakak. Segera Ellias duduk di samping sang kakak dan menarik Ellen ke dalam pelukan.

Ellen membenamkan wajah di dada Ellias, menumpahkan tangisnya. Dia bahkan mencengkeram jaket yang dikenakan sang adik, berharap rasa sakit di hatinya memudar, atau lebih baik lagi, bangun dari mimpi buruk yang mengerikan ini.

"El, Ayah...."

Ellias mengatupkan bibir rapat, menahan isak tangisnya. Kedua lengan melingkari erat tubuh Ellen sementara wajahnya menunduk menahan laju air mata.

Tak lama kemudian tim forensik datang dan mulai memeriksa lokasi kejadian. Selama itu Ellen sama sekali tidak mau beranjak, tetap duduk di tempatnya semula. Memperhatikan dengan linglung orang-orang yang tampak sibuk di sekitar tubuh sang ayah yang masih terbaring diam.

"JAMEESS!"

Teriakan itu sama sekali tak menggugah rasa penasaran Ellen untuk menoleh. Tatapannya sama sekali tidak berpaling dari tubuh berlumur darah milik sang ayah.

"Kak, aku akan menemui Ibu."

Ellen tak menanggapi ucapan Ellias, seolah hanya tubuhnya yang di sana sementara raganya melayang entah ke mana.

Ellias bangkit lalu menghampiri sang ibu yang juga menangis pilu tak jauh dari garis kuning polisi. Sebagai satu-satunya anak lelaki, Ellias merasa harus kuat menghadapi semua ini dan turut menguatkan ibu serta kakaknya, meski hatinya sendiri hancur tak terkira.

"Ibu," Ellias mendekati Rennie lalu memeluknya erat.

Rennie langsung membalas pelukan Ellias, lalu menangis terisak. "Apa yang terjadi pada ayahmu?"

"Aku juga tidak tahu."

"Ibu terlalu banyak berbuat salah padanya dan belum sempat minta maaf. Kenapa dia pergi secepat ini?!" Rennie menangis lebih keras.

Ellias tak mengatakan apapun, hanya terus mendekap ibunya. Hatinya pun menyesali banyak hal.

Ryno mendesah menatap keluarga yang baru saja kehilangan itu. Lalu dia mendekati ketua tim forensik yang tampak baru saja memindahkan pisau berlumur darah ke dalam kantong plastik.

"Apa itu pisau yang digunakan pelaku?" tanya Ryno, memperhatikan pisau yang tampak seperti pisau dapur pada umumnya.

"Dugaan awal iya. Tapi sepertinya akan sangat sulit menemukan pelakunya hanya dengan bukti pisau ini karena sekilas tampak lebih banyak sidik jari korban."

Ryno mengangguk lalu refleks mendongak, memperhatikan jalan ini menuju ke arah mana.

David, ketua tim forensik turut melihat ke arah yang menarik perhatian Ryno. "Rumah Dennis di ujung jalan ini, kan?"

"Oh," Ryno menoleh kembali ke arah David. "Iya." Dia mengangguk.

"Apa kau tidak terpikir sesuatu?"

Ryno langsung mengerti maksud David. "Kita tidak bisa langsung menuduhnya hanya karena reputasi. Lagipula sangat bodoh kalau Dennis membuang mayat korban yang baru dibunuhnya di dekat rumah."

David mengangguk. "Yah, bisa jadi karena persaingan bisnis. Atau masalah harta warisan."

"Ellen? Itu tidak mungkin. Aku berani mempertaruhkan hidupku bahwa dia bukan pelakunya. Lagipula James sangat menyayanginya."

"Maksudku ibunya. Kudengar dia selingkuh."

"Ternyata kau semakin aktif bergosip."

"Aish, coba fokus pada kemungkinannya."

"Yah, perselingkuhan yang ketahuan lalu perkelahian dan berakhir pembunuhan." Ryno menepuk pundak David. "Kumpulkan dulu bukti-bukti lalu kita mulai menduga kembali."

"Ya, tentu saja."

--------------------------

~~>> Aya Emily <<~~

His Eyes (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang