36

28.4K 3.8K 167
                                    

Minggu (16.53), 15 September 2019

--------------------------

Setelah mengambil dompet dan ponsel Ellias, Ellen bergegas melarikan diri dari rumah itu. Dia juga sempat menyambar kunci mobil yang tergeletak begitu saja di atas meja. Kini Ellen sudah mengendarai mobil cukup jauh dari rumah yang entah milik siapa. Ah, bahkan dia juga bertanya-tanya siapa pemilik mobil ini.

Cukup lama berkendara entah menuju ke mana, Ellen mulai bisa bernapas lega karena di sekitarnya bukan lagi jalanan yang tampak tak pernah dilewati seperti sebelumnya. Daerah ini lebih banyak perumahan meski tampaknya Ellen belum mencapai jantung kota.

Perlahan Ellen menepikan mobilnya. Setelah mematikan mesin mobil, dia meraih ponsel Ellias dari saku. Beruntung ponselnya tidak menggunakan kunci pengaman. Tapi sekali lihat saja, Ellen yakin itu ponsel baru. Bahkan tak ada satu nomor kontakpun di sana. Semua pesan juga bersih. Jelas pelarian ini memang sudah direncanakan cukup lama. Dan Ellias sengaja tidak membawa ponselnya sendiri agar tak ada seorang pun yang bisa menghubunginya.

Tanpa pikir panjang Ellen langsung mengetikkan serangkaian nomor yang paling dihafalnya. Itu adalah nomor ponselnya sendiri. Dia ingat meninggalkan ponsel itu di rumah Dennis dan berharap Dennis ada di dekat ponselnya agar bisa langsung menerima telepon darinya.

Tak butuh waktu lama menunggu. Seseorang langsung menerima panggilan Ellen. "Dennis, tolong aku. Ellias... ternyata Ellias..." Ellen tercekat. "dialah pelakunya. Dia ingin membawaku pergi. Tapi... tapi aku sudah membunuhnya. Tolong aku!"

Bisa dibilang Ellen nyaris histeris. Saat menikamkan pisau ke perut Ellias beberapa waktu lalu dia seolah menjadi orang lain. Jiwanya benar-benar diliputi kegelapan. Tapi kini, membayangkan dia telah melakukan hal itu saja membuat perutnya bergolak hebat. Dia bahkan merasa akan hilang kesadaran sewaktu-waktu dan ingin berteriak keras.

"Dennis... tolong..." rintih Ellen dengan nada amat memilukan.

"Ellen..."

Suara asing nan lembut di seberang telepon membuat Ellen membeku. Otaknya yang tengah diliputi teror langsung berkelana jauh. Apa dirinya salah nomor? Apa ponselnya diambil orang? Tapi... kenapa orang ini tahu namanya?

"Si—siapa?" tanya Ellen terbata.

"Ini aku, Xavier. Tenangkan dirimu."

Hembusan napas lega terdengar hingga ke tempat Xavier berada. "Xavier, katakan pada Dennis—"

"Ya, kami akan segera ke tempatmu. Katakan kau ada di mana!"

Ellen mengabaikan nada memerintah dalam suara Xavier. Dia langsung melihat sekitar dan tak menemukan satu petunjuk pun di mana dirinya berada.

"Aku tidak tahu."

"Kalau begitu pergilah ke bandara, terminal, atau perhentian transportasi umum terdekat manapun yang bisa kau temukan. Anak buahku sedang mengawasi tempat-tempat itu. Mereka memiliki fotomu. Kau juga akan lebih aman di tempat ramai."

Ellen menggigit bibir seraya refleks mengangguk. Saat tanpa sengaja menoleh ke arah spion dalam mobil, dia baru menyadari wajahnya basah karena air mata. Bahkan matanya memerah dan bengkak.

"Ellen, kau mendengarku, kan?"

"Iya. Aku mendengarmu." Ellen segera menjawab seraya menyeka wajahnya dengan punggung tangan.

"Lakukan seperti yang kukatakan. Jangan nekat melakukan hal berbahaya sendiri."

"Iya."

"Bagus."

His Eyes (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang