DFTL [29] / Maaf

123 9 0
                                    


Happy reading,

________________

*****

Dalam sebuah ruangan bernuansa gelap terlihat dua orang berbeda gender yang masih setia menundukkan pandangan memperhatikan jari-jari kakinya mungkin (?) sebab tak mampu menerima tatapan maut sosok dihadapannya kini.

Tanpa terdengar adanya percakapan mereka masih asik berkunci kata. Seakan menunggu barang salah satunya memulai terlebih dahulu. Atmosfer terasa masih sama sejak berpuluh-puluh menit yang lalu yaitu saat pertama kali mereka digelandang masuk. Panas, namun juga dingin dalam waktu yang bersamaan. Itulah yang tengah dua orang itu rasakan. Dengusan lagi-lagi terdengar nyaring sebab suasana yang begitu senyap ditambah tampilan ruangan yang mendukung. Gelap, kelam dan mencekam.

"Gak capek berdiri terus?" akhirnya kalimat pembuka terdengar juga walau masih diiringi napas berat. "Duduk!" serunya lagi yang segera diikuti keduanya.

Gadis itu segera mendudukkan dirinya pada tepian ranjang empuk sambil mendesah lega. Namun tidak dengan pria disampingnya. Ia terlihat gelisah sebab apa yang harus ia lakukan? Duduk di samping Nona mudanya kah atau di mana? Pria lainnya yang kini telah duduk dengan nyaman pada kursi belajar anaknya menyadari kebimbangan sekretarisnya itu. Dengan dengusan menahan tawa ia kembali berucap.

"Duduk, Daniel! Apa yang salah dengan itu?" ucapan itu terdengar ambigu membuat pria yang merasa terpanggil itu mendongak tak mengerti juga tatapan cengo gadis disampingnya. "Sebelum aku tak mengizinkanmu lagi menemaninya. Sepertinya dia berdampak buruk bagimu, Niel." tak menunggu perintah dua kali pria itu segera melemparkan dirinya duduk di samping gadis yang dimaksud.

"Berdampak buruk?" beo gadis itu tak suka sambil melotot.

"Daniel, ku tanya kamu. Berapa umurmu sekarang?" pertanyaan itu kembali membuat keduanya menatap heran, di mana letak keterkaitan ini dengan masalah itu?

Pria itu masih menunggu membuat Daniel meneguk salivanya dengan susah payah. "Dua puluh tujuh, Tuan."

"Apa belum dewasa juga?"

"Ya?"

"Kamu sudah hampir memasuki kepala tiga tapi masih bermain-main macam bocah SD?" pria itu terlihat memijat pangkal hidungnya. "Apa sifat kekanakannya berdampak buruk bagimu? Apa dengan semudah itu kamu terhasut dengan segala perilakunya?" tanyanya lagi.

Gadis itu berubah gelap mata. Apa maksud perkataan Daddy-nya itu? Apa pria itu menyalahkannya hanya karena sosok disampingnya ini ikut menikmati indahnya dunia bersamanya? Apa-apan?

"Wait...wait...wait... Maksudnya apa nih?" sergahnya sungguh tak terima. "Daddy gak suka? Hah? Kenapa Om Daniel dimarahin? Kenapa aku yang seolah-olah biang kerok di sini?" tukasnya lagi. "Toh cuma seneng-seneng, gak boleh? Lagian kita tanggung jawab juga. Maksud Daddy apa?" cercanya dengan semakin ganas. "Salah emang Om Daniel keikut suasana? Aku emang yang ngajak? Padahal Daddy tau sendiri kebenarannya gimana." "Gak boleh emang Om Daniel bareng aku?" gadis itu kembali menatap Daddy-nya menantang tanpa berkedip. Mungkin ia terkesan tak tahu sopan santun, tapi ia tak suka jika apa yang ia yakini benar ditentang orang. Walau itu orang tuanya sendiri.

Ya, anggap saja ia egois. Atau kenyataannya memang demikian.

"Terus apa kabar Paman Krish sama Lina? Bukannya mereka bahkan lebih parah? Apa aku gak boleh kayak gitu juga?" tanyanya tak percaya. "Oke, aku akui aku salah. Aku minta maaf. Tapi Daddy sadar gak? Om Daniel juga punya perasaan. Daddy nyadar gak kata-kata Daddy itu kasar banget? Hati boleh mati, tapi rasa hangat pasti ada walau cuman secuil dan itu abadi. Walopun perasaan padam, hati membeku. Hal itu bakal tetap ada. Tapi walau abadi itu bisa rusak juga Dad, perlahan tapi pasti. Dad, He is not robot yang gak punya hati. Karena kalo dia gak punya hati dia bakal mati atau malah bukan manusia!" serunya lagi sambil mengingat kutipan dari ucapan seseorang(?)

Petualangan Defit-al  (NEW)Where stories live. Discover now