DFTL [81] / Pelajaran

102 6 1
                                    


*****
____________

Angin berembus perlahan menerbangkan helaian rambut yang tampak berantakan tak ikut tercepol dengan jepit kecilnya. Membuai penuh sahaja dengan setiap harmoni menyejukkan. Ditemani penampakan tergelincirnya mentari jingga di atas permukaan air yang tenang. Sungguh melodi menyenangkan di sore hari.

Napas lelah ia haturkan atas setiap aksinya hari ini. Begitu letih mengingat tanggung jawabnya semakin melonjak. Tatapannya terus awas menatapi panorama alami di hadapan mata. Bertekad agar tak seorangpun dapat membuat ini terkontaminasi sedikitpun. Keyakinan dalam benaknya meningkat, mensugesti bahwa tempat ini akan menjelma penuh keindahan bak Surga dunia. Jelas hanya di bawah kendali tangan-tangan jenius mereka. Anak-anak titisan malaikat tanpa cela. Penuh keberuntungan juga bakat bawaan luar biasa.

Belum usai menikmati indahnya ciptaan Tuhan, seketika setiap inderanya menajam. Sensor alaminya mendapati sebuah pergerakan. Ringan dan teratur, langkah itu semakin mendekat lalu berhenti tepat di balik tubuh lelahnya. Tanpa berniat menoleh, bahkan berminatpun tidak ia berucap pelan.

"Kalau kamu berniat mengganggu ketenangan ini, lebih baik lupakan." terdengar merdu mengalir jernih seakan menyatu dengan alam.

Setelahnya terdengar kekehan pelan diiringi ucapan halus.

"Bagaimana jika Saya datang dengan alasan rindu?"

Untuk sepersekian detik, napasnya seakan tercekat. Sesaat hatinya mulai menghangat kala suara khas yang amat familiar di telinga itu merasuk menembus sistem pendengaran.

"Niel," gumamnya pelan masih tanpa menoleh, hanya menatap riak tak berarti sebuah hamparan ketenangan yang luas di kejauhan.

Pergerakan kembali terdeteksi dan kini bersumber dari samping tubuhnya. Sosok jangkung itu tampak asik menyungging senyum padanya. Dengan tanpa persetujuan pria modis itu telah duduk nyaman didekatnya.

"Anda tampak baik-baik saja." ujar pria itu masih dengan senyum manis.

"Emangnya apa yang kamu harapkan?" delik gadis itu tak acuh.

"Saya pikir, saat Saya datang berkunjung Anda akan segera mengajukan surat pengunduran diri. Tapi nyatanya siapa yang menyangka bahkan pekerjaan di sini begitu terkendali. Memang tidak salah jika Tuan El memutuskan Anda untuk segera turun kedunianya." sahut pria itu lagi dengan panjang lebar penuh makna.

"Salahnya aku terlalu muda, dan kalian tau itu." kini ia menoleh, menatap dalam manik terang di sana.

"Kamu tau, Nona?" tanya Pria pemilik nama Daniel itu pelan, menghilangkan aksen formalnya seraya mengalihkan pandangan ke arah fenomena matahari terbenam di hadapan.

Gadis itu bergeming tanpa niat walau hanya sekadar menanyakan apa maksudnya. Seakan membiarkan pria dewasa itu untuk melanjutkan kata.

"Saya pikir dulu kamu seorang reinkarnasi dari masa lalu." kekehnya kemudian membuat gadis itu tampak mulai tertarik dengan mimik perhatian penuh hanya padanya. "Atau seorang jenius masa depan yang terjebak dalam tubuh itu." lanjutnya masih dengan kekehan lembut.

"Kenapa?" sahut gadis itu singkat dan padat, hanya satu kata dari sekian banyak pertanyaan yang muncul dalam otak pintarnya.

"Kadang kamu terlalu dewasa untuk ukuran tubuhmu. Terlalu berbakat untuk seorang gadis 14 tahun." Daniel kembali memandanginya dengan tatapan lembut yang teduh.

Gadis tanpa marga dalam namanya itu ikut tersenyum tulus, seakan mampu menghangatkan setiap sanubari makhluk hidup yang melihatnya. Begitu kontras namun menyatu dengan keindahan tergelincirnya mentari ke peraduan.

"Entahlah, Niel. Kadang aku juga mikir gitu. Tapi yang ada cuma jadi makin konyol."

"Nona Rin," panggilnya pelan yang kemudian ditanggapi dengan deheman. "Bagaimana dengan mimpi itu?" lanjutnya lagi penasaran.

Petualangan Defit-al  (NEW)Where stories live. Discover now