DFTL [71] / Diculik (2)

134 6 0
                                    


*****
____________

Rambut abunya kembali tercepol asal dengan beberapa helai yang menempel pada sekitaran wajahnya. Entah basah karena air atau oleh keringatnya sendiri. Melangkah enggan ke arah kasur yang beberapa menit lalu ia jadikan tempat hibernasi sesaat. Pikirannya telah melayang entah kemana. Sesekali memejamkan mata menghalau beberapa kemungkinan rumit yang melintas.

Ia lelah namun tak dapat mengeluh. Ia bosan namun tak dapat melakukan apa-apa. Ia kesal namun tak dapat menyalurkannya.

Sekarang ia mulai merindukan sosok mungil berwajah manis itu. Berpikir apa yang tengah gadis itu lakukan saat tak bersamanya. Kembali mengawang saat rasa lain muncul silih berganti. Lalu bagaimana dengan sekretaris Daddy-nya? Sesaat ia terkekeh membayangkan wajah menawan yang mungkin tengah merista saat tahu Nona Mudanya menghilang entah kemana. Ia heran apa yang pria itu lakukan saat tahu ia tak pulang-pulang? Pasti perasaannya tak lebih baik dari seekor induk beruang yang kehilangan anak. Atau yang paling parah menangis dalam diam sambil merecoki Paman Krish. Membayangkan itu membuatnya kembali terkekeh tanpa sadar.

"Apa kini kamu berganti kepribadian? Sebelumnya selalu memaki tapi sekarang malah terkekeh sendiri. Apa kejiwaanmu baik-baik saja? Perlukah kita periksakan itu pada seorang ahli?" teguran dengan suara berat dan dalam yang mulai dibenci indera pendengaran membuatnya mendengus.

Bernapas pelan menetralkan pikiran agar tak kembali terpancing emosi. Lalu Ririn tanpa minat menoleh pada pria yang kini menjulang dihadapannya. Menatap jengah dan kembali mendengus membuat pria dengan bekas luka pada mata kirinya itu menaikkan alis heran.

"Bisa tidak kau berhenti menggangguku?" ucapnya dengan nada lelah yang kentara.

"Kenapa harus?" tanyanya masih dengan tatapan lurus pada gadis di atas tempat tidur itu.

"Yeah, jika kau bersedia sampai beberapa jam kedepan aku akan sangat berterima kasih." Ririn mengelap wajahnya perlahan, benar-benar memberitahukan bahwa ia sangat letih akan keadaannya saat ini.

"Hmm... Kamu sendiri yang membuat dirimu lelah, sayang." sekilas Ririn melihat sudut bibir itu tertarik ke atas membentuk senyum tipis.

"Berhentilah memanggilku begitu. Aku punya nama, okey? Ririn, apa kurang jelas? Lagipula siapa memang yang memancingku melakukan hal itu?" masih saja tak mau mengalah ia berucap garang.

"Tapi panggilan itu lebih mudah diucapkan."

"Terserah kau sajalah, pria tua macam kau memang susah diajak berdamai!" lagi-lagi Ririn hanya mampu mendengus, kali ini ia benar-benar mengalah.

"Mengapa kamu susah sekali dijinakkan, huh?" dengan gerakan cepat ia telah mengambil duduk di samping Ririn yang memang sedari tadi bersantai pada pinggiran tempat tidur.

"Kau pikir aku binatang? Dijinakkan? Yang benar saja!!" Ririn berdecak tak terima.

"Itu kenyataan."

"Terlebih aku, harusnya kau pikirkan bagaimana nasib temanmu yang tengah berhadapan dengan kucing orenku di sana!" gerutunya kemudian membuat pria disampingnya itu menoleh penuh minat.

"Kucing apa?" ulangnya meminta penjelasan.

"Kau tau kucing oren kan? Mereka sangat bar-bar dan susah diatur. Nah, jadi aku berpikir, bagaimana ya keadaan temanmu itu?" tanpa sadar Ririn kembali terkekeh kala terpikirkan hal tersebut.

"Siapa?"

"Kau ingat gadis yang ku katakan saat di depan pintu toilet kan? Harusnya kalian benar-benar tidak melibatkannya juga." tukas Ririn mulai kesal pada pria rupawan disampingnya ini.

Petualangan Defit-al  (NEW)Where stories live. Discover now