Bab 1

13.5K 645 10
                                    

Selama ini aku mengira bahwa cinta sejati itu hanya ada dalam film, drama, dan buku--novel-novel picisan, tapi ternyata aku salah. Cinta sejati itu ada. Dia nyata, bahkan ada di depan mata.

Ialah ayah, laki-laki yang menjadi cinta pertamaku kini telah kehilangan separuh jiwanya, wanita yang sangat dicintainya. Laki-laki yang selalu menjadi kebangganku itu kini telah menjadi manusia rapuh. Bukan hanya fisiknya, tapi juga jiwanya.

Setahun berlalu semenjak kepergian ibu, ayah tak berubah, masih terlihat murung dan kehilangan semangat. Seperti sudah enggan melanjutkan hidup. Mungkin baginya, hidup menjadi tak bermakna dan terasa hampa tanpa kehadiran wanita yang telah mengisi hatinya selama ini.

Aku tahu bagaimana perasaan ayah, karena pernah mengalaminya juga saat kehilangan orang yang sama. Kehilangan panutan yang selalu menjadi inspirasi, merupakan pukulan terberat dalam hidupku. Namun, jika terus terhanyut dalam duka dan terpuruk dalam kesedihan, bukanlah merupakan pilihan yang tepat. Ibu akan merasa berat meninggalkan kami seperti ini, bukan?

***

Segera kumatikan kompor sebelum telur yang kudadar berubah menjadi cokelat kehitaman. Nasi goreng kunyit ikan teri yang telah matang beberapa menit lalu pun menguarkan aroma harum yang semakin menggoda. Aku tidak pernah menyangka jika akhirnya bisa mempraktekkan sendiri resep almarhumah--yang dulu kuperhatikan dengan enggan saat menemaninya menyiapkan sarapan.

Perutku mulai keroncongan. Berdiri selama satu jam demi menghasilkan sebuah menu ternyata bukan perkara yang mudah bagiku. Dulu, cukup mengandalkan ibu dan kakak perempuan semata wayangku saja untuk urusan perdapuran. Aku tinggal duduk manis. Cukup membantu mereka dengan menghabiskan makanan, tak lupa sesekali memberikan pujian. Namun, sepertinya kali ini aku tidak dapat lagi mengelak. Kemarin Ayah menolak masakan Mak Sani--asisten rumah tangga--yang telah membantuku mengurus rumah. Mungkin ia rindu masakan ibu.

"Hana bikin sarapan kesukaan ayah." Aku mendekat sambil menepuk bahunya pelan, menghadirkan senyum semanis mungkin seraya menyodorkan sepiring nasi goreng yang telah kuberi hiasan irisan tomat dan mentimun di atasnya.

Ayah menurunkan buku, lalu menolehku sekilas.

Ya Tuhan ... buku itu lagi! Dengan melihat warna sampulnya saja sudah bisa kutebak judulnya apa, saking seringnya ayah membaca buku yang sama. Sudah berapa kali ia membaca dan menamatkannya?

"Terima kasih, Hana, tapi ayah belum lapar," jawabnya datar seraya menaikkan kembali bukunya.

"Ayah belum makan apa-apa pagi ini. Kalau tidak diisi, nanti asam lambung ayah bisa naik lagi," bujukku. "Hana sudah buatkan masakan kesukaan ayah. Nasi goreng kuning ikan teri."

Di luar dugaan, kulihat ia menghela napas berat.

Apakah menu yang kusebutkan tadi membuatnya teringat lagi akan ibu?

"Iya, nanti saja ayah makannya, ya." Ia hanya menjawab ringan, lalu beranjak dari tempat duduk tanpa menoleh piringnya.

Aku menatap nanar punggung ayah yang menghilang di balik kamar. Kuhempaskan diri di kursi yang sedari pagi didudukinya sambil memegang buku. Entah memang ia baca atau sekadar pengalih lamunan.

Kursi ini dulunya adalah kursi yang sering diduduki almarhumah ibu untuk menghabiskan waktu menamatkan koleksi bukunya. Kursi yang bersebelahan dengan sebuah rak buku besar di sisi ruangan, berseberangan dengan televisi 32 inci yang menempel pada dinding lemari yang juga dipenuhi banyak buku di sisi kanan-kirinya.

Dari sebelah kanan ruangan, cahaya matahari dengan leluasa dapat masuk melalui jendela yang membatasi rumah dengan halaman belakang. Aku menyibak tirainya, merasakan hangat yang perlahan menjalari wajah.

Ah, ibu sudah berhasil menyulap ruang keluarga ini menjadi perpustakaan mini yang penuh kenangan. Bahkan saat duduk di kursi ini saja, kehadirannya seperti masih dapat kurasakan. Pantas ayah betah berlama-lama menghabiskan waktunya di sini.

Tanpa terasa, butiran hangat sudah memenuhi sudut mataku.

--bersambung--

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt