Bab 21 | 2

4.4K 494 62
                                    

Belum hilang sabit yang kudapati di bibir Ayah, sebuah pesan masuk. Seketika itu pula mood bagusku berubah.

Fathan: Kamu kasih nomor ayahmu sama Bunda?

Aku mencium adanya bendera perang yang telah dikibarkan dari caranya memulai pesan. Tidak ada salam, tidak ada basa-basi. Ya, Fathan memang bukan termasuk tipe orang yang suka berbasa-basi.

Hana: Tante yang minta.

Fathan: Lalu kamu kasih?

Hana: Karena sudah Ayah izinkan.

Fathan: Buat apa?

Aku menghela napas. Apa Fathan sedang kurang kerjaan hari ini?

Hana: Tanya aja sama Tante buat apa.

Fathan: Bunda nggak mau jawab.

Yaa Salaam. Apa sih maunya?

Hana: Ya sudah, nggak usah dipikirin.

Fathan: Tapi saya tidak suka.

Hana: Jadi anak jangan terlalu posesif. Pikirkan juga kebahagiaan orangtua. Jangan egois.

Fathan: Siapa yang egois?

Hana: Anda.

Mungkin Fathan ini jenis orang yang tidak mengenal dirinya sendiri dengan baik. Sekali-kali harus ada orang yang dengan suka rela mengingatkan.

Fathan: Saya punya kewajiban untuk menjaga Bunda.

Hana: Tapi tidak dengan menghalangi kebahagiaannya.

Fathan: Kamu masih punya obsesi rupanya.

Hana: Obsesi untuk?

Fathan: Menjodohkan mereka.

Hana: Kalau memang mereka berjodoh dan Allah berKehendak, bergabung jin dan manusia untuk memisahkan keduanya pasti tidak akan berhasil. Begitu pula sebaliknya. Seperti mereka dulu berpacaran selama 7 tahun tapi akhirnya berpisah. Itu karena belum berjodoh.

Fathan: Tidak berjodoh.

Hana: Belum berjodoh. Kalau ternyata berjodoh, pasti akan kembali. Saran saya, Anda tidak usah terlalu memaksakan diri.

Fathan: Itu yang seharusnya saya katakan ke kamu.

Hana: Belum tentu yang baik menurut kita baik juga menurut orang lain. Kita harus pandai meraba perasaan orang lain.

Fathan: Itu juga yang seharusnya saya katakan sama kamu. Cinta lama belum tentu akan membuat mereka bahagia. Kalaupun ingin bersama, mungkin sebatas ego untuk memuaskan rasa penasaran.

Aku mendengus kesal.

'Penasaran' katanya? Kalau posisi mereka masih dalam ikatan pernikahan dan bisa merusak rumah tangga, jelas aku orang pertama yang akan menentangnya. Mereka jelas sudah sama-sama sendiri. Bukan cerita CLBK yang bertemu di reuni kemudian menikah setelah menceraikan pasangan masing-masing.

Hana: Belum tentu juga akan membuat Tante menderita, kan?

Fathan: Memang.

Hana: Lagipula mereka sekarang sudah sama-sama sendiri dan mungkin butuh teman untuk menghabiskan masa tuanya. Anak-anaknya juga sudah besar, seharusnya sudah tidak lagi merepotkan mereka.

Fathan: Tidak perlu memberikan ceramah. Saya bukan mahasiswa lagi.

Hana: Kenapa Anda begitu ngotot untuk menjauhkan Tante dari orang yang memiliki niat baik?

Fathan: Niat baik?

Hana: Pernikahan itu termasuk niat baik, bukan?

Fathan: Mungkin. Tergantung konteksnya. Sebentar, kenapa sudah bicara ke arah pernikahan?

Hana: Jujur saja! Anda tidak suka dengan Ayah saya, bukan? Anda pikir Ayah saya bukan yang orang baik?

Fathan: Bukan begitu.

Hana: Lalu, karena Anda yang tidak suka dengan saya.

Fathan: Bukan juga.

Hana: Lalu kenapa menghalangi Tante untuk bisa dekat lagi dengan Ayah?

Fathan: Karena ada alasannya.

Hana: Apa alasannya?

Fathan: Pertama, Bunda adalah tanggung jawab saya. Kedua, Bunda sudah berjanji untuk setia pada Almarhum Papah. Ketiga ...

Hana: Ketiga?

Fathan: Saya tidak mau memiliki adik tiri seperti kamu.

Hana: Maksudnya?

Fathan tidak membalas. Apa dia sengaja?

Aku kembali mengetik.

Hana: Bisa Anda jelaskan maksud kalimat terakhir Anda?

Status Fathan masih online dan pesanku sudah dibaca, tapi tidak ada tanda-tanda dia sedang mengetik balasan.

Kejengkelanku rasanya sudah naik sampai ke ubun-ubun. Fathan menggantung kalimatnya dan berhutang sebuah penjelasan.

Apa yang kukerjakan kemudian tidak berjalan mulus. Konsentrasiku mendadak buyar, tidak ada yang berjalan lancar.

Fathan sepertinya memang tidak memiliki niat untuk menjawab, sebab saat langit beranjak senja pun tidak ada notifikasi pesan darinya yang kuterima.

Dengan mengerahkan segala keberanian, kutekan nomornya.

"Assalamu'alaikum," Fathan menjawab dengan datar seperti biasa, seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

"Wa'alaikumussalam."

"Ada apa?"

"Saya tidak akan berbasa-basi untuk menghemat energi."

"Ya?"

"Tolong jelaskan, kenapa Anda tidak mau memiliki adik seperti saya? Apa saya bisa menurunkan harga diri dan martabat keluarga Anda?"

Aku mendengar Fathan terkekeh. Apa itu lucu baginya?

"Bukan, bukan itu alasannya."

"Aku sedang tidak ingin main tebak-tebakan. Jadi, tolong jelaskan saja secara gamblang."

"Kamu serius ingin tahu?" Fathan terdengar lebih serius sekarang. "Bagaimana kalau saya jatuh cinta pada adik sendiri?"

"Maaf?"

"Saya bilang ... bagaimana kalau saya menyukaimu, Hana?"

"Lupakan!"

Aku menutup sambungan secara sepihak. Apa yang dikatakan Fathan barusan benar-benar di luar perkiraan.

--bersambung--




Jodoh Pasti Kembali [Completed]Where stories live. Discover now