Bab 11

4.3K 373 10
                                    

Aku mulai menguap dan beberapa kali mengucek mata. Tanganku membuka beberapa lembar berikutnya, membacanya dengan cepat.

Di sana Ibu menceritakan jika tengah berusaha membuka hati untuk Rio dan melupakan perasaannya kepada Ayah. Bukan karena Rio tampan, tapi laki-laki itu memperlakukan Ibu layaknya perempuan. Tentu saja Ibu akan tersentuh, sementara laki-laki yang disukainya sering memperlakukan sebaliknya.

Ibu jadi sering membandingkan keduanya. Contoh sederhana, saat berjalan bersama. Di saat Ayah sering berjalan di depan--mendahului--Ibu, Rio lebih memilih untuk berjalan bersisian. Bagi Ibu, Rio lebih gentle. Kalau kunilai dari gayanya memperlakukan Ibu, Rio ini tipikal laki-laki romantis.

Suatu sore di hari minggu, Rio mengajak ibu ke sebuah resto kue dan roti terkenal di Dago dengan menaiki sepeda motornya. Namun, di tengah-tengah obrolan saat Ibu menikmati apfel struddle, Rio bertanya. "Zahra, bagaimana kalau kita menikah?"

Ibu langsung tersedak. Tidak menyangka akan mendengar pertanyaan itu secepat ini. Padahal waktu dua bulan masih dirasa kurang untuk bisa mengenal Rio luar-dalam.

Bukan, ternyata bukan kebahagiaan yang Ibu rasakan, tapi semacam kecemasan mengenai hubungannya dengan Ayah. Walaupun, Ibu juga ragu, apakah Ayah akan membiarkannya menerima lamaran itu.

Sepulang dari makan malam, ternyata Ayah sedang menunggu Ibu di rumah. Beruntung Ibu meminta Rio segera pulang sebelum keduanya bertemu.

Apa Ilham punya indra keenam? Tumben, semalam ini dia datang ke rumah, di saat laki-laki yang mengajakku berkencan hendak melamar.

Itu yang ditulis ibu. Mungkin, di dalam hatinya, Ibu berbunga-bunga.

Sayangnya, saat kukatakan bahwa tadi Rio melamarku, Ilham hanya diam. Dia benar-benar tidak menjawab.

Hubungan kami akhir-akhir ini memang semakin merenggang. Aku benar-benar sibuk, ditambah Rio sering mengajakku keluar, hingga tak banyak waktu yang bisa kuhabiskan bersama Ilham seperti biasa.

Sejujurnya, aku sangat kehilangan Ilham, walau sebetulnya aku lah yang meninggalkannya, tapi, kurasa Ilham tidak demikian. Dia terlihat tidak kehilangan apalagi kesepian. Justru akhir-akhir ini sering kulihat dia bergabung dengan teman-temannya di klub bola. Kegiatan yang lama ditinggalkannya.

Kesal karena tidak mendapat tanggapan, aku pun masuk ke kamar sebelum mengusirnya. Biar Ayah saya yang menyuruhnya pulang!

Tepat jam sembilan malam, ada sebuah telepon masuk untukku. Kukira Rio yang menelepon, ternyata Ilham.

"Pertanyaannya sudah kamu jawab?"

"Pertanyaan apa?" Aku bertanya dengan sedikit ketus.

"Katamu tadi, Rio melamarmu. Sudah kamu jawab."

Aku menghela napas, masih kesal. "Kukira kamu meneleponku untuk urusan penting!"

"Jadi sudah kamu jawab? Apa jawabanmu?"

Ah, kenapa aku jadi seperti ini? Bukannya Ilham saat hendak melamar Sofi juga bertanya lebih dulu kepadaku? Bahkan saat memilihkan Sofi cincin pun, dia mengajakku. Oh ya, ada di mana cincin itu sekarang?

"Belum," jawabku akhirnya.

"Kapan mau kamu jawab?"

"Entahlah."

"Kamu benar-benar menyukainya?"

"Entahlah," jujurku.

"Kamu benar-benar ingin menikah dengannya?"

"Entahlah," jawabku lagi sambil memilin kabel telepon. Memang aku tak begitu yakin.

"Kalau begitu, jangan diterima. Tolak saja."

Sontak aku menegakkan tubuh dari sandaran kursi. "Apa maksudmu?"

"Aku lihat kamu tidak begitu bahagia dengan Rio. Aku hanya khawatir."

Cih, khawatir katamu?

"Apa pedulimu? Kamu terlihat cuek selama ini."

"Iya ya?"

"Lagian, kalau kutolak Rio, siapa yang nanti mau melamarku? Aku tidak mau jadi perawan tua."

"Kalau begitu, nanti kita habiskan masa tua bersama saja." Ilham terkekeh.

Aku ingin meninjunya saat ini juga.

"Kalau sampai perawan tua belum ada laki-laki yang mau melamar, aku akan mendatangi ayahmu."

"Ngapain?"

"Nyaranin ayahmu untuk bikin sayembara."

"Nggak lucu!" Amukku, seraya hendak menutup telepon.

"Tapi aku serius," tahan Ilham. "Sebaiknya jangan terima lamaran Rio. Mantannya banyak."

--bersambung--

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang