Bab 5 | 2

4.7K 383 5
                                    

Seperti yang dijanjikan saat makan siang, Salma membantuku mencari akun tante Sofi di laman Facebook dan Instagram sepulang mengajar, di sebuah restoran cepat saji yang tak jauh dari kampus.

"Kamu yakin mau nyari lewat jejaring sosial? Gimana kalau ternyata tente Sofi itu orangnya nggak suka bersosialisasi lewat dunia maya? Kamu yakin beliau punya akun?" Salma memastikan keseriusanku. Ia juga mengingatkan bahwa ada banyak nama Sofi di jagat maya.

"Makanya, aku mau add beberapa orang di grup alumni SMA ayah. Kalau sudah punya mutual friends bisa memudahkan pencarian."

"Ayah dan almarhumah ibu nggak punya akun?"

"Dulu sempat punya, tapi sudah deactivated sejak lima tahun lalu. Nggak tahu alasan pastinya, tapi kayaknya karena ayah pernah cemburu dengan teman laki-laki ibu. Teman semasa sekolah atau kuliah."

Salma mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun, tak lama kemudian ia kembali berujar, "Eh, gimana kalau ternyata tante Sofi pengikut aliran alay dengan nama semacam Hari Ini Aku Cantik Sekali, tanpa spasi?"

Aku menepuk dahi. "Itu artinya kita sedang tidak beruntung!"

"Atau, bagaimana kalau ternyata tante Sofi sudah ...," Salma menggantung kalimatnya dan melirikku sekilas. Lalu membungkam mulutnya segera setelah melihat tatapan protesku.

Beberapa menit kemudian kami mulai bekerja dalam keheningan. Memusatkan konsentrasi dengan mengurangi percakapan. Salma pernah bilang, jika bekerja sambil mengobrol itu bisa menguras tenaga dua kali lipatnya.

Aku setuju. Lebih tepatnya, setuju karena tidak perlu mendengarkan jatah dua puluh ribu kata miliknya.

Aku membuka akun instagram-ku lewat ponsel, sementara Salma membuka akun Facebook-ku melalui laptop. Mengetik sebuah nama di kolom pencarian, membukanya satu per satu, dan mengintip sekilas isinya sebelum beralih ke akun berikutnya.

Ternyata, hal itu benar-benar melelahkan. Mungkin aku tak berbakat menjadi seorang stalker.

"Sofi Amalia?" Salma menyebutkan sebuah nama setelah jeda kami cukup lama. "Fotonya mirip dengan yang kamu tunjukkan tadi."

Aku memang telah memotret foto yang telah kutemukan di majalah lama itu, saat mendapati foto itu kemudian ayah simpan di salah satu bukunya.

Segera kualihkan pandangan pada laptop di depan Salma dan menyocokkan fotonya dengan foto dalam ponselku.

"Ya, mirip. Perkiraan usianya juga mirip." Tanganku sudah sibuk menggulirkan kursor, turun-naik. "Tapi tidak banyak info ataupun postingan."

"Tinggal di sekitar Batu, Malang," gumam Salma. "Coba lihat, itu ada foto beliau dengan seseorang, mungkin anaknya, di sebuah kafe!" Jarinya menunjuk sebuah foto. "Coba googling alamat kafenya!"

Tanpa menunggu lama, segera kulakukan apa yang diperintahkannya.

Sebuah alamat berhasil ditemukan.

Salma melirikku, seperti mengingat sesuatu. "Kamu jadi ikut Seminar Nasional itu, kan?"

Aku mengerjap. "Ya, sudah kuajukan. Mungkin besok atau lusa ada keputusan."

"Semoga di-ACC. Malang-Batu paling satu jam, tidak terlalu jauh. Masih bisa dikejar setelah seminar selesai." Tangannya kembali menepuk bahuku.

"Kalau di-ACC, berarti boleh kutitipkan kelas sama kamu, 'kan?" Kubuat ekspresi sememelas mungkin, sambil mengatupkan kedua tangan di depan dada.

"Tenang saja!" jawabnya, tak tahan melihatku. "Paling kukasih tugas biar pada anteng di kelas." Ia lalu terkekeh. "Study tour mahasiswa himpunan ke Jogja berangkat jumat malam, jadi sampai jumat sore aku masih gentayangan di kampus," lanjutnya lagi sambil memamerkan geligi putihnya.

Kuhamburkan pelukan saat Salma tak bisa mengelak. "Kamu memang sahabat terbaikku."

"Kalau ada mau aja baru bilang terbaik!" Mulutnya dimonyongkan. Aku malah geli melihatnya.

--bersambung--




Jodoh Pasti Kembali [Completed]Where stories live. Discover now