Bab 4

5K 420 1
                                    

Aku berusaha melupakan urusan mengenai foto untuk beberapa hari kemudian, sampai akhirnya tante Puji dan om Agus datang menginap.

Biasanya, selepas shalat isya ayah langsung kembali ke kamar, walau sesekali mau kuajak menonton TV bersama. Kali ini, ia terlihat bersemangat menunggu kehadiran adik ipar yang sudah dianggapnya sebagai adik sendiri.

Rumah terasa lebih hidup saat tante dan om datang.

"Tante cuma bawa sedikit oleh-oleh dari Bandung," tante Puji menyodorkan dua kantong besar berisi beberapa macam makanan khas.

"Banyak sekali, Tante. Terima kasih." Mataku berbinar mengintip isinya. "Sampai kerupuk Seblak juga tidak lupa dibawain." Rasanya air liurku sudah mulai berkumpul, tak sabar untuk menyicipi sensasi pedasnya.

"Iya, itu yang pedas-pedas memang kesukaan kamu, kan?" Tante Puji tertawa lebar. "Lagian tante bingung mau bawain apa. Makanan zaman sekarang sudah banyak macamnya dan aneh-aneh. Jadi kemarin tante minta Aira yang pilihkan."

"Lain kali nggak usah repot-repot, Tante," jawabku nyengir, sambil membawanya ke dapur.

Tante mengekoriku, sementara om Agus sudah diajak ayah mengobrol di ruang tamu.

"Tante dan om sudah makan?"

"Sudah, tadi di jalan," jawabnya sambil memegangi bahuku. "Gimana kondisi ayahmu sekarang?"

"Alhamdulillah sudah agak membaik. Sekarang malah sudah mau ambil proyek lagi, padahal beberapa proyek pernah ditolak ayah sebelumnya. Tapi ya gitu, masih sering terlihat melamun."

Aku mengambil empat cangkir dari rak dan meletakkannya di atas nampan, sementara menunggu air yang kupanaskan mendidih.

"Ayahmu memang harus banyak cari kesibukan, tapi jangan sampai kecapekan juga. Intinya harus ada yang dikerjakan, biar tidak melulu teringat almarhumah ibumu."

Aku menghela napas berat. Jangankan meminta ayah untuk beraktivitas, mengajaknya sekadar mengobrol ringan saja terkadang sulit, apalagi untuk berbicara dari hati ke hati. Seperti ada sekat diantara kami yang sulit sekali untuk dirobohkan. Ayah terlihat masih shock, seperti tidak punya semangat melanjutkan hidup, dan ... terkesan tidak peduli lagi kepada kami, anak-anaknya. Padahal sebelumnya aku terbilang paling dekat dengan ayah.

"Tante, apakah dari dulu ayah sangat mencintai ibu?"

Ada jeda sebelum ia menjawab. "Ya, ayahmu sangat mencintai ibumu, terlebih saat kalian sudah lahir."

Tante Puji menepuk-nepuk punggungku dengan lembut. "Kamu juga jangan banyak pikiran, ya. Kalau kamu sakit, nanti siapa yang akan menjaga ayahmu?"

Aku mengangguk sambil menyeka sudut mata. "Terima kasih tante sudah mau menyempatkan datang menengok kami." Aku membalikkan badan dan menatapnya penuh syukur. Setidaknya malam ini aku bisa melihat ayah lebih semangat dari malam-malam sebelumnya.

"Ya ... 'kan kamu juga keponakan tante. Masa nggak ditengokin."

Senyum kami mengembang. Tante menjawil hidungku.

"Oh ya, tante mau teh manis atau kopi?" tanyaku kemudian. Air yang kupanaskan dalam cerek sudah meraung.

"Tante teh saja. Kalau om-mu boleh dikasih kopi, biar kuat ngobrol sampai pagi."

Kami terkekeh bersama.

"Tadi tente yang bawa mobil, kok," lanjutnya.

"Tapi besok om ada rapat. Jam berapa rapatnya?"

"Jam sembilan, di jalan Sudirman. Udah, nggak apa-apa. Lagipula mereka sudah lama nggak ketemu. Biar kangen-kangenan dulu." Tante Puji mengibaskan tangannya, memintaku untuk tidak perlu khawatir.

Kuiyakan kata-katanya. Lalu membawa cangkir yang sudah terisi dan beberapa iris brownies yang dibawa dari Bandung dalam nampan ke ruang tamu.

"Oh iya, waktu itu kamu bilang nemu foto. Bisa tante lihat?" Tante Puji berbisik saat kami berjalan bersisian.

"Iya, ada, Tante. Nanti Hana ambil. Waktu itu Hana simpan di laci nakas dekat meja makan."

Selepas menyajikan minuman dan kuenya, aku berbalik ke arah meja makan yang dipisahkan oleh sebuah lemari pembatas dengan ruang tamu. Tante Puji kembali mengekoriku. Mungkin karena tidak ingin menganggu obrolan antara laki-laki.

Wajahku tiba-tiba pucat saat menyadari foto yang kumaksud tidak bisa kutemukan di laci manapun dari nakas itu.

"Hana yakin pagi itu menyimpannya di sini," terangku.

Tante Puji memandangiku dengan bingung. Ia membantuku mencari sekali lagi untuk memastikan. "Apa disimpan Mak Sani, yang suka bantu-bantu, itu?"

Aku mengangguk-anggukkan kepala, menyetujui kemungkinan tersebut. Besok pagi akan kutanyakan pada beliau.

"Atau ...." Tiba-tiba sebuah kemungkinan lain muncul di kepalaku. Aku menggeserkan badan, menengok ayah yang sedang menyandarkan badannya di kursi sambil menyeruput kopi.

"Ayahmu?" Tante Puji menyipitkan matanya.

Aku mengangguk kecil.

--bersambung--

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Место, где живут истории. Откройте их для себя