Bab 18 | 2

4.2K 398 17
                                    

Aku baru selesai dari kamar mandi ketika sebuah mobil terdengar menepi. Tak lama berselang, Mak Sani yang baru datang--biasanya datang setiap jam 5.30--segera mengetuk pintu kamar.

"Neng, ada tamu. Nyari Neng Hana."

Aku mengerutkan kening. "Tamu jam segini, Mak?" Kubuka pintu kamar dan menemukan wajah Mak Sani yang sudah senyam-senyum sendiri. "Siapa?"

"Nggak tahu, Neng. Tapi orangnya cakep. Tadi pas Mak mau masuk dia nanya gini, 'ini rumahnya Mbak Hana?' Terus Mak jawab 'iya betul, ada perlu apa, Den?'. Dia jawab lagi, 'mau ketemu sama Mbak Hana'."

"Tidak menyebutkan nama?"

"Mak lupa nanyain. Apa mau Mak tanyain dulu sekarang?" Telunjuk Mak Sani terangkat ke arah pintu depan.

"Nggak usah, Mak."

Menunggu Mak Sani bertanya bisa memakan waktu lama, sebaiknya segera kuperiksa sendiri. Mungkin karyawan yang diminta Fathan mengantarkan flashdisk.

"Saya segera keluar, sebentar lagi. Tolong bilang tunggu dulu, ya." Aku berbalik untuk merapikan kerudung.

Aneh, padahal Fathan belum mengabariku jam berapa karyawannya akan datang. Ternyata pagi sekali sudah sampai.

Kuintip jam analog pada layar ponsel. 05.45.

Eh, ada miss call?

Nomor Fathan tiga kali menghubungiku beberapa menit yang lalu. Mungkin tadi saat di kamar mandi.

Sebuah pesan yang dikirim tidak lama dari waktu panggilan pun segera kubuka.

Fathan: Rumahnya yang ini?

Sebuah foto rumah tampak depan membuat mulutku ternganga. Jadi, memang benar suruhannya yang datang?

Ketika akan kuketik balasan, sebuah pesan baru masuk.

Fathan: Saya sudah di depan. Tidak bisa menunggu lama.

Sontak mataku membulat dengan tangan yang refleks membekap mulut, supaya tidak ada teriakan kaget yang lolos dari sana. Dengan setengah berlari, kucapai pintu rumah hanya dalam waktu beberapa detik.

Sebuah mobil Honda Civic hitam sudah terparkir di bawah pohon mangga, di depan carport. Fathan--dengan stelan jas hitam rapi--berdiri tidak jauh dari mobilnya sambil sibuk dengan ponsel.

Andai saja Fathan belum bertunangan dan akan menikah dalam waktu dekat, mungkin ... Ah, apaan sih? Istighfar, Hana!

"Maaf," ucapku sungkan saat jarak kami sudah dekat. Fathan tidak menyadari kehadiranku. "Teleponnya tidak terangkat."

"Oh iya."

Tangannya lalu merogoh saku jas dan mengeluarkan sebuah flashdisk metalic milikku.

"Ini?" Fathan kembali meyakinkan.

Aku mengangguk dan mengambil benda yang disodorkannya. Namun sedikit heran ketika ada benda aneh yang ikut menggantung di sana.

"Mungkin lain kali di simpan di tempat yang lebih aman, supaya tidak mudah jatuh. Atau, bisa diberi tali seperti itu."

"Terima kasih," cicitku sambil terus mengamatinya.

Sebuah gantungan--semacam tali name tag--bertuliskan SOTTA tercetak di sana.

"Kalau begitu aku pamit."

Fathan sudah berbalik dan hendak membuka pintu mobilnya.

"Sebentar!" cegahku. "Kenapa bukan karyawanmu yang mengantar?"

"Oh, itu. Mereka tidak ada yang rumahnya dekat sini." Fathan menggaruk rambut belah pinggirnya.

"Kalau tahu begitu, aku saja yang ke kafe."

"Tidak apa-apa, sekalian saya mau ke Depok juga. Jalannya searah. Lagipula, jam segini di kafe masih belum ada orang."

Fathan kembali pamit dan segera masuk. Mobilnya melaju tanpa membukakan jendela pintu atau memberikan klakson sama sekali.

"Siapa, Neng?"

Aku terperanjat mendapati Mak Sani sudah berada di ambang pintu.

"Teman, Mak."

"Kok nggak diajak masuk?"

"Nggak. Orangnya lagi buru-buru."

"Nggak dikenalin dulu sama Bapak?" goda Mak Sani. Matanya berkedip seperti orang cacingan.

"Apaan sih, Mak? Orang cuma nganterin flashdisk yang ketinggalan. Dia itu cuma teman. TE-MAN. Titik."

Aku berlalu dari hadapannya dan tidak ingin melanjutkan. Jangan sampai Mak Sani membuat gosip yang bisa menghebohkan warga satu kompleks. Tahu sendiri kalau para ART sudah mulai bergosip, dalam sekejap mata sebuah berita bisa tersebar ke mana-mana.

--bersambung--

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Where stories live. Discover now