Bab 8 | 2

4.6K 377 0
                                    

Tanganku membalik halaman berikutnya, sembari membetulkan posisi duduk.

Rinai hujan mulai terdengar dari luar. Aku mendongak sejenak ke arah jendela, kemudian kembali pada buku harian Ibu.

"Yang harus kamu lakukan adalah melanjutkan hidup!"

Ilham menatapku, tapi pandangannya nyaris kosong. "Tentu saja!" desisnya. "Aku akan coba menghubunginya lagi," lanjutnya tak lama kemudian.

Aku membulatkan mata. "Sofi? Kamu yakin?"

Kepalanya mengangguk, terlihat lebih bertenaga.

"Tapi menurutku, ini juga tidak akan mudah bagi Sofi. Setelah kehilangan neneknya, selain menyalahkanmu, ia juga pasti menyalahkan dirinya sendiri. Makanya ia memutuskan hubungannya denganmu." Aku menatapnya lurus. "Aku masih ingat bagaimana paniknya ia saat menemuiku kemarin."

"Setidaknya aku harus menemuinya. Aku ingin mendengar Sofi mengatakannya sendiri."

Aku menatapnya dengan perasaan yang tidak dapat dijelaskan.

Ya, tentu saja tak mudah melepaskan sesuatu yang hampir menjadi milikmu.

"Setidaknya beri dia waktu untuk berpikir tenang," ucapku akhirnya.

Beberapa menit berikutnya yang kami lakukan adalah diam dengan pikiran masing-masing.

"Aku pulang dulu." Ilham kemudian bangkit seraya berpamitan.

Aku mengantarnya dengan tatapan nanar.

Aku menghela napas panjang, sebelum membalik halaman berikutnya. Rintik hujan yang semula berupa gerimis sudah berubah menjadi deras.

Kuisi gelas yang telah kosong lalu meneguk isinya sampai tandas, menarik selimut, kemudian membenamkan diri ke dalamnya.

Buku harian Ibu berlanjut.

Senin, 17 September 1984

Seharian  ini aku sangat sibuk hingga tidak bisa menemui dan menghubungi Ilham. Ada beberapa laporan yang harus segera kuselesaikan.

Sepulang kerja, kusempatkan mampir ke rumahnya, tapi Ilham belum pulang.
___

Rabu, 19 September 1984

Ilham masih sulit untuk kutemui. Beberapa kali kutelepon atau kudatangi rumahnya, selalu sedang tidak ada. Apa yang dilakukannya?
___

Kamis, 20 September 1984

"Ilham masih sering melamun, Bu?"

Wanita yang selalu mengenakan tudung kepala itu mengangguk. Matanya memerah. "Ya, dia jadi sering mengurung diri di kamar akhir-akhir ini. Ibu bingung harus bagaimana lagi, Neng Zahra."

"Sering pulang kerja larut juga, ya." Aku menyimpulkan. Beberapa hari ke rumahnya memang Ilham selalu belum pulang.

"Apa Ilham sudah pernah bertemu Sofi lagi?" lanjutku yang hanya dijawab dengan gelengan.

Aku juga belum mendengar kabar Sofi setelah kejadian itu. Mungkin dia masih di Cirebon.

"Ilham dari dulu sering memendam perasaannya sendiri, tidak seperti adiknya. Dia baru bisa sedikit terbuka setelah dekat dengan Neng Zahra, semenjak SMA itu." Ia diam sejenak. "Ibu khawatir sampai terjadi sesuatu padanya."

Aku mengusap tangannya yang bergetar. "Insyaallah Ilham paham agama, Bu. Tidak akan sampai melakukan hal yang di luar batas."

Wanita itu mengangguk lemah.

Sepulang dari rumah Ilham, aku mampir ke rumah Bi Minah untuk mengambil baju yang telah selesai dijahit. Saat di jalan pulang, jantungku hampir saja meloncat keluar begitu melihat Ilham sedang mematung di atas jembatan.

"Astagfirullah." Aku mengelus dada sambil setengah berlari ke arahnya. "Ilham? Sedang apa?"

Ilham tampak kaget dengan kedatanganku. "Dari mana kamu tahu aku di sini?"

"Bahkan aku tidak pernah menyangka akan bertemu denganmu di sini," jawabku.

Ia melepas senyum getir ke arah aliran sungai.

Aku menatapnya dengan perasaan ngeri. Suasana sekitar jembatan yang sepi, cahaya temaram, dan suara aliran sungai yang menghayutkan. Bisa saja Ilham berpikiran untuk mengakhiri hidupnya di sini, bukan?

"Jadi sepulang kerja kamu habiskan waktumu sendirian di sini?"

Ilham tidak menjawab.

"Apa yang sedang kamu pikirkan?"

Ia menatapku sekilas. "Aku ingin menjadi air yang bisa terus mengalir. Membawa apapun yang ada padanya."

Aku menatapnya antara khawatir dan gemas. Jawaban semacam apa itu?

"Kamu berpikir aku akan terjun ke bawah?" Senyumnya mengejek.

"Orang yang melihatmu sefrustasi ini berdiri di atas jembatan sambil melihat ke bawah mungkin akan berpikiran sama denganku." Napasku tersenggal. "Atau mereka akan beranggapan telah bertemu hantu."

"Aku hanya sedang ingin sendirian."

"Mengosongkan pikiran? Bagaimana kalau sampai ada yang merasukimu?"

Ilham hanya terkekeh, tapi tawanya terdengar sumbang.

"Zahra," panggilnya. Aku menoleh.

"Apa salah kami sehingga harus berpisah?"

Aku diam menjeda, sejenak berpikir. "Mungkin karena kalian tidak ditakdirkan untuk hidup bersama."

Ilham tidak menyahut.

"Aku setuju dengan ayahnya Sofi. Mungkin kamu harus mulai melupakannya. Belajar merelakannya. Walau itu tidak mudah."

Ya, tentu saja tidak akan mudah.

"Ilham, banyak hal di dunia ini yang terjadi di luar kendali kita."

Aku memandang ke arah yang sama dengannya.

"Kamu boleh bersedih, bersedih yang sewajarnya. Kamu juga boleh menangis, tapi menangis yang seperlunya."

Ilham kini tertunduk. Entah apa yang ada di pikirannya.

"Mungkin terlalu jahat kalau kubilang Sofi bukan yang terbaik untukmu. Maksudku ... jika ternyata dia bukan jodohmu."

Ilham mendongakkan wajahnya, menatap langit. Hanya ada beberapa bintang di sana.

"Terlalu banyak yang harus kulupakan. Aku tak yakin bisa melakukannya." Suaranya nyaris mendesis.

"Kamu masih ingat apa yang bu Erna bilang saat pelajaran Sejarah?"

Ilham menatapku bingung. 'Kenapa dalam momen seperti ini kamu membahas tentang sejarah?' Mungkin begitu arti tatapannya. Ilham lalu menggeleng.

"Masa lalumu, ambillah pelajaran darinya. Sedangkan masa depanmu, jadikan ia sebagai harapan."

Kedua tanganku sembarang menepuk ke udara. "Pulang, yuk. Banyak nyamuk!"

--bersambung--

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Where stories live. Discover now