Bab 22

4.3K 430 19
                                    

Kemampuan analisaku berkurang beberapa persen. Mendadak otakku buntu ketika mendengar pernyataan Fathan kemarin. Seperti tidak bisa berpikir jernih. Padahal, jelas-jelas Fathan mengatakan 'bagaimana kalau', bukan 'sebenarnya' atau 'sejujurnya'. Apa yang Fathan katakan hanya sebuah pengandaian. Kemungkinannya bisa jadi hanya lima puluh persennya saja, bukan?

Aku memungut buku yang terjatuh karena sikutan saat mengambil air minum. Ayah sering memperingatkan kebiasaan burukku ketika terpaksa harus membaca saat sarapan, seperti yang kulakukan saat ini. Apalagi alasannya jika bukan karena semalam tidak sempat membaca?

Bukan tidak sempat juga lebih tepatnya. Semalam sudah beberapa kali mencoba berkonsentrasi, tapi nyatanya tidaklah mudah. Kelebatan bayangan Fathan saat mengatakan kalimat itu seperti nyata ada di depan mata. Otak kananku terlalu jauh mengkhayalkannya.

Apa aku menyukai Fathan? Aku tidak ingin mengingkarinya. Ya, aku menyukainya, tapi lebih ke arah kagum, bukan suka karena cinta.

Pernah memiliki artis idola yang kita sukai dan membuat kita salah tingkah saat berkesempatan berada di dekatnya? Mungkin kasusku juga seperti itu.

Pernah punya guru atau profesor yang sangat kita kagumi? Aku pernah sekali mengalaminya. Saat ada seorang profesor baru yang bergabung di fakultas kami. Aku sangat menyukainya, menyukai cara berpikirnya. Namun, bukan berarti aku jatuh cinta lantas berkeinginan untuk menikah dengannya, bukan?

Semudah itulah logika atas perasaanku selama ini pada Fathan.

Lantas, untuk mendukung semua teori yang kubuat, aku mengabaikan beberapa panggilan dan pesan dari Fathan setelah menutup teleponku secara sepihak waktu itu. Aku ingin menetralkan perasaanku tanpa diganggu olehnya.

"Membaca ulang materi yang akan disampaikan di kelas? Akhir-akhir ini Ayah lihat kamu sangat sibuk. Jangan lupa jaga kesehatan." Ayah kembali mengingatkan.

Selama menjadi dosen, aku memang selalu menyempatkan diri minimal membaca ulang materi sebelum memulai kelas, walau apa yang kubaca kebanyakan sudah kuhapal di luar kepala. Kalau sempat, aku akan mencari buku dengan topik-topik sejenis, membaca jurnal, artikel, atau menonton tayangan di channel yang berhubungan dengan mata kuliah yang kuampu. Aku hanya tidak ingin salah saat menyampaikan sesuatu karena keteledoran atau lupa, sebab mahasiswa bisa saja merekam apa yang keluar dari mulut kita di kepalanya.

"Iya, hanya baca-baca sekilas."

Selesai merapikan buku, aku bergegas merapikan piring kotor dan menyimpannya di bak cuci piring. Itu akan menjadi tugas Mak Sani selanjutnya.

"Sudah pesan ojek online?"

Aku mengangguk sembari duduk kembali di kursi.

"Motornya masih bermasalah?"

"Kemarin sudah ganti accu, tapi masih susah dinyalakan. Jadi Hana PP naik ojol saja untuk sementara."

Giliran Ayah yang mengangguk. "Nanti biar Ayah yang bawa ke bengkel. Sekali-kali Hana bisa bawa mobil ke kampus."

"Tidak perlu. Kalau hanya Hana sendirian yang naik mobilnya, artinya Hana sudah menjadi bagian dari penyumbang kemacetan di Ibukota, bukan?"

Ayah hanya tersenyum mendengar alasanku.

"Ayah, apa tante Sofi sudah ada menghubungi Ayah?" Tentu saja pertanyaanku ini hanya sebagai pancingan.

Air muka Ayah berubah. Wajahnya mendadak berseri. "Ya, kemarin Sofi menghubungi Ayah. Kami mengobrol banyak hal."

"Oh syukurlah."

"Hana, sebenarnya ada yang ingin Ayah bicarakan, tapi kelihatannya kamu sedang sibuk."

"Apa, Ayah? Katakan saja sekarang. Hana bisa dengar."

Ayah diam sejenak. "Kami sepakat untuk memulai kembali-"

Dari arah luar terdengar bunyi klakson motor. Konsentrasiku terpecah.

"Ojeknya sudah datang?"

Kuperiksa layar ponsel dan memastikan bahwa suara klakson yang kudengar berasal dari ojol yang kupesan.

"Iya, ini di maps-nya sudah sampai. Maaf, Ayah. Bisa kita lanjutkan nanti ngobrolnya?"

Dengan sangat menyesal aku meminta maaf. Ayah memaklumi.

"Lain kali kita lanjutkan."

Aku mencium tangannya seraya berpamitan. Ojek online berseragam hijau itu sudah menungguku di depan rumah.

"Ibu Raihanah?" Dia menyocokkan namaku dengan nama yang tertera di aplikasinya.

Aku mengiyakan dan menerima helm yang disodorkan.

--bersambung--

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Where stories live. Discover now