Bab 17 | 2

4.3K 366 14
                                    

Sebuah dering telepon membuyarkan lamunan. Aku bergegas bangkit dan meraih ponsel di atas meja makan.

"Hana sudah sampai?" tanya suara lembut dari seberang setelah kami bertukar salam.

"Alhamdulillah, sudah sampai sekitar sepuluh menit yang lalu," jawabku sambil kembali ke sofa. Menyandarkan kepala ke belakang, lalu melipat kaki ke atas sofa. "Tante sudah di rumah?"

"Sudah. Tadi kami langsung pulang. Katanya besok pagi Fathan ada meeting dengan calon investor, jadi malam ini biar istirahat dulu di rumah."

"Oh iya, Tante. Pasti Tante sering ditinggal kak Fathan di rumah, ya?" Fathan merupakan anak tunggal. Mereka hanya tinggal bertiga di rumah seluas sembilan ratus persegi itu, bersama seorang asisten rumah tangga yang menginap. Aku bisa menebak tipe dan ukuran rumahnya karena pernah berkunjung ke salah satu rumah teman di daerah tersebut.

"Iya. Bisa dihitung dengan jari Fathan tidur di rumah dalam sebulan. Keliling terus kerjaannya." Terdengar tawa kecil dari mulutnya.

"Tante, kalau lain kali kita ketemuan lagi, bisa? Mungkin nanti Hana bisa mengajak Ayah. Ayah sepertinya akan senang jika bertemu Tante dan membicarakan banyak hal di masa lalu. Ayah juga sudah lama tidak bertemu dengan teman-teman lamanya."

Tante Sofi tidak langsung menjawab.

"Maksudku, bertemu lagi sebagai teman lama," jelasku lagi.

"Mungkin lain kali saja," jawabnya, sedikit mendesis.

Bukan perkara mudah mungkin untuk berhadapan dengan seseorang yang pernah memiliki ikatan di masa lalu dalam hidup kita. Apalagi mereka berpisah bukan karena keinginan sendiri, melainkan dengan terpaksa. Cerita mereka seperti belum berakhir dengan baik, tapi mungkin akan canggung jika harus menyelesaikannya sekarang--setelah sekian lama. Terlebih, ketika keduanya telah berstatus 'sendiri'.

Tidak berselang lama dari menutup sambungan telepon tante Sofi, aku mendapatkan pesan dari Fathan.

Fathan: Apa Ayahmu itu laki-laki yang pernah memiliki hubungan dengan Bunda di masa lalu?

Aku mengerutkan alis dan sedikit terpancing dengan sarkasme Fathan yang menyebut Ayah dengan kata 'laki-laki', walau ya ... Ayah memang laki-laki.

Hana: Mungkin iya.

Fathan: Jadi kamu sudah punya tujuan dari awal ketika mencariku?

Hana: Maksudnya?

Fathan: Tadi di jalan Bunda cerita kalau Ibumu sudah meninggal. Ayah dan Ibumu juga dulu berteman dengan Bunda, sebelum Bunda menikah.

Hana: Lalu?

Fathan: Jadi benar kamu sudah merencanakan untuk menjodohkan mereka?

Hana: Apa Anda ini termasuk golongan manusia paranoid yang tidak bisa melihat niat baik seseorang?

Entah mengapa, aku tidak bisa mengontrol jariku untuk tidak mengirim pesan itu. Bagiku, isi pesan yang kukurim barusan sudah terbilang kasar untuk ukuran orang yang baru kukenal. Padahal, perkataan Fathan ada benarnya juga.

Fathan: Tapi memang seperti itu kan kenyataannya?

Aku mengambil napas.

Hana: Hei, bagaimana kalau ternyata benar? Jika mereka tidak bisa bersama di masa lalu, mungkin bisa bersama di masa depan.

Fathan: Sebaiknya kamu urungkan.

Hana: Keputusan ada di tangan mereka. Mereka bukan anak kecil lagi.

Fathan: Justru karena bukan anak kecil, sebaiknya kamu urungkan saja.

Hana: Baiklah, aku hanya ingin menjalin silaturahim dengan Tante. Puas?

Fathan tidak membalas. Aku hampir membanting ponsel karena geram.

Fathan ini jenis manusia yang tidak bisa ditebak dengan mudah menurutku. Sikapnya berubah-ubah. Sebentar dia bersikap manis, sebentar bersikap ketus. Mungkin dia melakukannya untuk melindungi wanita yang dijaga dan dicintainya selama ini.

Selera menontonku sudah hilang, berganti dengan kesal yang meledak-ledak dalam dada. Kenapa harus ada tipe orang yang tidak bisa menyampaikan sesuatu secara baik-baik? Mungkin akan kujawab dengan jujur jika cara bertanyanya lebih sopan.

Kutekan tombol power pada remot televisi dan segera beranjak ke kamar. Mungkin tidur bisa menghilangkan sedikit kekesalanku.

--bersambung--

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora