Bab 15 | 2

4.2K 388 18
                                    

Fathan: Sepertinya jadwal kepulangan saya akan diundur. Masih ada yang harus diselesaikan di Surabaya. Apakah titipannya mendesak untuk segera diserahkan?

Fathan mengirimiku pesan selepas jam makan siang.

Hana: Tidak, tidak begitu mendesak.

Fathan: Oh baik.

Komunikasi kami kembali terputus, hingga keesokan harinya Fathan mengirimku lagi pesan.

Fathan: Titipannya saya paketkan semalam. Hari ini saya mendadak ke Bandung.

Hana: Oh, terima kasih. Sibuk sekali ya?

Pesan terkirim tapi belum dibaca. Aku buru-buru menghapus dan menggantinya dengan pesan baru.

Hana: Terima kasih.

Dua puluh menit berselang, Fathan mengirim lagi pesannya.

Fathan: Maaf, beberapa hari ini sedikit sibuk. Ada masalah perizinan yang harus diurus di cabang Bandung. Rencananya mau soft launching pekan depan, tapi sepertinya diundur.

Hana: Oh ternyata ada cabang SOTTA Bandung juga? Totalnya ada berapa cabang?

Fathan: Baru di Jakarta, Malang, Solo, dan Cirebon. Mudah-mudahan bulan ini bisa tambah cabang di Bandung dan Bogor.

Hana: Surabaya?

Fathan: Surabaya belum.

Hana: Oh, jadi kemarin hanya urusan bisnis?

Fathan: Bukan, urusan pribadi.

Hana: Oh begitu.

Fathan: Merampungkan persiapan pernikahan.

Tentu saja Fathan sudah mapan secara usia dan financial. Wanita mana yang akan menyia-nyiakan kesempatan sebagai calon istrinya?

Hana: Selamat.

Fathan tidak membalas. Aku kembali melanjutkan membaca jurnal yang akan digunakan untuk penelitian berikutnya.

***

"Teh Naura minggu depan jadi ke sini, Yah. Tapi cuma tiga hari aja katanya, sisanya mau nginep di Subang. Rumah mertuanya."

"Indra jadi ke Thailand?" Ayah menyesap kopinya yang sudah tidak panas. Tadi sengaja kubuatkan untuk menemaninya membaca buku.

Aku mengangguk. "Seminggu."

"Syukurlah."

"Setidaknya selama tiga hari nanti rumah tidak akan sepi. Aku sudah kangen sama keponakanku satu-satunya yang cerewetnya minta ampun."

Aku terkekeh mengingat bagaimana cerewetnya Yasmin, semua serba ditanya. Rasa penasarannya cukup tinggi. Teh Naura sesekali merasa kerepotan kalau pertanyaannya sudah aneh-aneh seperti 'kenapa ayam punya sayap tapi tidak terbang seperti burung?', atau 'kenapa cacing rumahnya di tanah?'.

"Kamu sendiri, sudah ada rencana serius?" Ayah membuyarkan lamunanku.

"Maksud Ayah?"

"Menikah. Berkeluarga."

"Belum waktunya, Ayah. Hana masih mau nemenin Ayah dulu." Aku menghampiri kursinya. "Hana ingin berbakti dulu."

"Ayah tidak keberatan kalau ada yang sudah siap melamar Hana. Sebaiknya tidak ditunda-tunda lagi. Usiamu sudah cukup matang. Jangan khawatirkan Ayah. Ayah baik-baik saja."

Kuhela napas panjang. Masalahnya, sekarang ini aku juga belum memiliki calon suami. Terakhir, hubunganku dengan Andre tidak bisa dipertahankan karena orangtuanya tidak menyetujui kami menjalani LDR, Long Distance Relationship, sejak pekerjaannya dipindahkan ke Medan. Terlalu berat dan beresiko katanya. Enam bulan kemudian, aku mendengar kabar Andre menikah dengan teman satu kantornya. Sementara aku masih melajang.

Jodoh memang penuh rahasia.

"Kalau nanti Hana menikah, Ayah dengan siapa? Apa Ayah mau menikah lagi?" Aku mengalihkan.

Ayah meletakkan gelasnya di meja kecil di samping tempat duduknya. Kedua tangannya bertaut di atas, dengan tumpuan kedua siku di pegangan kursi. Ayah tampak tengah berpikir.

"Ayah? Ayah tidak pernah berpikir sampai sejauh itu. Bagi Ayah, Ibumu masih hidup. Selalu hidup di dalam hati."

"Tentu saja," tukasku. "Tapi nanti siapa yang akan mengurus Ayah kalau Hana menikah dan dibawa pindah ke rumah suami Hana kelak? Atau, sebelum menikah Hana mengajukan syarat untuk tinggal bersama Ayah saja?"

Ayah menatapku. "Jangan memberatkan calon suamimu. Kamu berhak memiliki kehidupan sendiri. Baktimu akan beralih dari Ayah ke suamimu setelah kamu sah berstatus menjadi seorang istri."

Aku merenung. Justru inilah salah satu alasan yang membuatku berat untuk kembali membuka hati, sebelum Ayah menemukan kembali kebahagiaannya.

--bersambung--




Jodoh Pasti Kembali [Completed]Where stories live. Discover now