Bab 27 | 2

4.3K 448 22
                                    

Hubungan yang terjadi di antara aku dan Fathan entah harus kudefinisikan seperti apa. Kami bukan teman, bukan juga musuh. Dia bukan pacar, apalagi saudara.

"Ah, betul. Tentu saja bukan urusanku. Kita tidak ada hubungan apa-apa. Aku hanya tidak sengaja lewat dalam kehidupan Anda, bukan?" Bibirku mengulas senyum getir. "Tapi aku akan segera pergi, jadi Anda tidak perlu khawatir akan terusik lagi."

Aku bergegas kembali ke motor, tapi kakiku mendadak berat untuk dilangkahkan.

"Mau ke mana?"

Kepalaku menoleh dan baru menyadari jika rok tutu bertumpuk yang kukenakan tengah ditariknya.

Kenapa harus bercanda di saat seperti ini?

Aku berusaha mengibaskan rokku supaya Fathan mau melepaskannya, tapi tidak ada gelagat laki-laki itu akan menyerah.

"Mau kamu apa, sih?" Suaraku meninggi. "Kita bukan anak kecil lagi buat main tarik-tarikan rok. Lepaskan sebelum aku hilang kesabaran!" Kembali kukibaskan rok dengan kasar hingga pegangannya terlepas.

"Harusnya saya yang bertanya, mau kamu sebenarnya apa?"

Aku mendongak untuk menatapnya dalam jarak yang cukup dekat, hingga ada sesuatu yang membuat kakiku melangkah mundur.

"Sebaiknya aku pulang jika Tante baik-baik saja."

"Tunggu." Suaranya tiba-tiba terdengar dalam. "Hana, apa salah jika wajah kalian mirip?"

Langkahku kembali terhenti. Pertanyaannya terdengar menyakitkan di telinga.

"Maaf?" Aku kembali berbalik dan menyesali apa yang kuucapkan kemudian. "Tidak ada wanita yang ingin hidup dalam bayang-bayang wanita lain."

"Kamu cemburu?" Fathan menatapku.

"Cemburu?" Dahiku berkerut. "Kenapa aku harus cemburu?"

"Entah. Mungkin kamu sendiri yang bisa menjawabnya."

Aku hanya mendengus kesal.

"Bagiku, kalian berbeda."

Wanita mana yang mau disamakan?

Aku menatapnya dalam. "Jadi benar, Anda membandingkan kami?"

"Tidak. Bahkan sejak pertama kali melihatmu, saya tahu jika kalian berbeda."

"Pertama kali melihat? Maksud Anda, saat Anda mengamati wajahku lewat CCTV kafe di Malang?"

Fathan tidak menjawab.

Sudah kuduga, waktu itu Fathan akhirnya mau menghubungi karena wajahku mengingatkannya pada seseorang.

"Ya, mungkin aku sudah terlalu jauh melangkah. Padahal, niat awalku hanya untuk menghubungkan orangtua kita."

"Lalu?"

"Sebaiknya kita tidak perlu saling bertemu lagi"

"Kenapa?"

"Pada akhirnya kita hanya akan saling menyakiti, bukan?"

Fathan tidak menjawab.

Kuputuskan untuk pamit. Benar-benar pamit dari kehidupannya dan hubungan kami yang mulai rumit.

Jika tidak segera mengambil langkah dari sekarang, akan lebih sulit untuk menghindarinya di kemudian hari, bukan?

"Hana,"

Aku tidak menghiraukan panggilannya saat mulai menyalakan motor.

"Apa kamu menyukaiku?"

Aku sedikit terkesiap mendengar pertanyaannya, tapi tetap tak kuacuhkan.

"Apa kamu ingin menghindariku karena orangtua kita?"

Aku sedang tidak ingin menjawab.

"Bagaimana kalau aku menyukaimu, kamu tetap akan pergi?"

Otakku seperti membeku sepersekian detik demi mendengar pertanyaannya.
Aku hanya menoleh dan berlalu dari hadapannya.

Akan selalu ada konsekuensi yang harus kita ambil ketika telah memutuskan sesuatu, bukan?

--bersambung--


Jodoh Pasti Kembali [Completed]Where stories live. Discover now