BAB 2 | 2

6.5K 445 1
                                    

"Pagi-pagi kok sudah bengong?"

Salma, penghuni meja sebelah, mengagetkanku dengan tiba-tiba muncul dari arah pintu masuk. Selepas menyimpan tas di atas meja dan melepas jaket hitamnya, dia duduk di hadapanku.

Bukannya ucap salam dulu, kek.

"Salamku malah tadi nggak dijawab. Kenapa? Belum nemu jurnal yang cocok untuk penelitian?"

Oh!

Aku menggeleng. "Bukan. Jurnalnya sudah ada. Tadi sempat diskusi dengan bu Tri, malah."

"Lalu?" Keningnya mulai berkerut.

Salma memang seperti itu, selalu mengejar dengan pertanyaan-pertanyaan sampai akhirnya merasa puas.

Bukankah perbedaan antara 'perhatian' dengan 'serba ingin tahu urusan orang lain' itu sangat tipis? Tapi Salma termasuk tipikal yang pertama menurutku. Perhatian. Sesekali memang sifatnya itu sangat menyebalkan. Namun, rasa keingintahuannya benar-benar didedikasikan demi mencari jalan keluar setiap masalah yang ditemui. Yah, walau pada kenyataannya tidak semua masalah mendapatkan solusi.

Aku dan Salma saling mengenal semenjak kuliah tingkat satu. Kami satu jurusan dan satu angkatan, hanya berbeda kelas. Namun, dulu kami belum akrab seperti sekarang.

Saat menempuh kuliah magister, Salma melanjutkannya di Jepang, sedangkan aku tetap melanjutkan di almamater yang kini menjadi tempat mengabdikan keilmuanku. Hingga akhirnya kami kembali dipertemukan dalam profesi yang sama, menjadi seorang dosen. Bisa dibilang, Salma merupakan teman terbaikku saat ini.

"Kamu lagi mikirin jodoh, Na?"

Selain suka ingin tahu, Salma juga suka menyingkat nama orang seenaknya. Padahal nama panggilanku sudah cukup singkat. H-a-n-a.

Aku menyelidik wajahnya yang sedang serius menatapku. Seolah tebakannya memang benar.

"Jodoh itu bukan dipikirin, tapi diikhtiarin," jawabku sekenanya.

"Jadi kamu beneran lagi nyari jodoh?" Salma memperbaiki posisi duduknya. Ia condongkan badannya ke arahku.

Jika hanya berdua seperti ini, kami benar-benar lupa kalau sedang berada di ruangan dosen.

"Pantas saja beberapa hari ini matamu sering jelalatan," lanjutnya, menyudutkan.

Jelalatan?

"Aku?" tanyaku sambil menunjuk hidung. Tidak percaya.

"Ya. Waktu di kantin, kamu terus menoleh ke belakang. Ingat?"

Di kantin? Ah iya, beberapa hari lalu saat makan berdua dengan Salma di kantin, ada bu Dewi dan bu Karin--dosen senior--yang juga sedang duduk tak jauh dari meja kami. Dari kabar yang kudengar, bu Karin sedang mencarikan pasangan untuk bu Dewi yang sudah bercerai dengan suaminya beberapa tahun lalu itu. Tanpa sadar, aku terus memperhatikan ke arah mereka. Salma saja yang tidak tahu arah tatapanku.

"Kamu juga aneh, deh, akhir-akhir ini. Sering merhatiin ... hm, apa ya?" Salma memegang dahinya demi mengingat sesuatu dengan bola mata menerawang ke atas. "Ya, kamu sering merhatiin ibu--siapalah, seolah lagi nyari mertua yang sesuai dengan tipe kamu."

Sontak aku terkekeh mendengarnya. "Ngaco!" semburku yang dibalas dengan tawa renyahnya.

Keriuhan tawa kami terjeda begitu prof. Rifky masuk dengan ketukan kecil di pintu dan ucapan salam.

"Seru banget," ujarnya berbasa-basi sambil melewati meja kami, menuju meja kerjanya di sudut kanan ruangan.

"Ini, Hana sedang mencari jodoh, Prof."

Aku menjawil lengan kanannya. Salma mengaduh sambil mengusap bekas yang kutinggalkan di sana.

"Siapa tahu 'kan Prof. Rifky punya referensi." Senyum nakalnya menggodaku.

"Jodoh untuk bu Hana? Hm ... coba saya cari dulu siapa yang cocok, ya," jawab prof. Rifky, mengaminkan ucapan Salma.

"Jangan diambil serius, prof." Aku menyangkal.

"Tapi saya serius mau bantu carikan kalau bu Hana bersedia. Ada beberapa mahasiswa S2 dan S3 saya yang belum menikah." Prof. Rifky memamerkan senyum khasnya. "Atau mau sama anak saya? Tapi yang laki-laki masih belum tamat SMA," kelakarnya membuat Salma puas melepas tawa sambil memegangi perut.

--bersambung--

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang