Bab 22 | 2

4.6K 461 49
                                    

"Wajah kamu hari ini kelihatan ceria banget, Na."

"Mungkin karena tadi driver yang nganternya ganteng. Tapi sayang, kayaknya masih mahasiswa,  mahasiswa tingkat akhir."

"Sikat aja, Na. Beda sedikit lah umurnya."

"Maksudnya sedikit itu, tujuh tahun?" Aku menaikkan alis.

Salma tertawa, lebih tepatnya mengejek.

"Eh, tahu nggak kalau ternyata ada voucher diskon kalau kita naik ojol bayar pakai uang elektronik?" tanyaku penuh antusias.

Tadinya kupikir info ini akan sama pentingnya bagi Salma, nyatanya dia hanya menanggapinya biasa.

"Terus?"

"Iya, tadi aku dapat diskon sepuluh ribu, harusnya bayar dua puluh empat apa dua puluh lima. Lumayan kan buat tambahan makan siang." Aku tergelak.

"Itu berarti bukan karena drivernya ganteng, tapi kamu happy gara-gara diskonan."

"Bisa jadi, ya. Receh banget sih hidup gue."

"Terus kamu kasih uang tips?"

Aku mengangguk. "Iya, kasihan."

Salma menggeleng-gelengkan kepala. "Sama aja bohong kalau gitu."

"Beda, lah." Aku menjawil pipinya sebelum beranjak ke kelas.

Kelas hari ini berjalan normal seperti biasa. Mata kuliahku pagi ini berisi 2 sks di kelas pertama, dilanjutkan dengan 3 sks menjelang jam makan siang di kelas kedua. Artinya, jadwal mengajarku full dari pagi sampai siang. Rasanya kepalaku sudah berasap ketika kembali ke ruangan.

"Eh, ada yang nyari, tuh. Driver yang tadi, bukan?" Salma menunjuk ke arah luar dengan gerakan kepalanya sambil mengedipkan mata.

"Mana?" Kepalaku celingukan mencari seseorang berjaket hijau di depan ruangan, tapi hasilnya nihil. Apa Salma hanya ingin mengerjaiku?

"Itu di depan mading. Tadi sudah kuminta tunggu di dalam, tapi katanya mau tunggu di luar saja."

Aku mengangguk sambil berjalan ke arah mading yang Salma maksud. Hingga jarak kami sekitar empat meter, seketika tubuhku menjadi kaku.

Bagai dipaku ke lantai, kakiku seperti tidak bisa digerakkan. Seharusnya detik ini pula aku buru-buru memilih untuk berbalik arah. Mendekam di ruang dosen, bersembunyi di toilet, atau mungkin menunggu di musala fakultas. Namun, faktanya aku malah diam di tempat seperti maneken yang tidak bisa bergerak.

"Hana?" Panggil laki-laki itu begitu menyadari kehadiranku.

Kalau sudah begini, bukankah percuma kalaupun menghindar?

"Kenapa? Mau menghindar lagi?" tanyanya sambil mendekat.

"Siapa yang menghindar?" Aku mengalihkan pandangan sambil menepi. Jam istirahat makan siang seperti ini membuat koridor kampus menjadi lebih ramai. Beberapa mahasiswa yang melintas melihat kami sambil berbisik-bisik atau sekadar mengulum senyum.

"Bisa kita bicara?"

"Bukannya kita sedang bicara?"

Senyum tipisnya membuatku salah tingkah.

"Di kantin?"

Aku menggeleng, tentu saja ada banyak mahasiswa dan beberapa dosen di sana. Ruangan dosen juga bukan pilihan yang bagus, karena Salma bisa ikut menguping.

"Di sana saja. Tidak lama, kan?" Jariku menunjuk sisi koridor yang lebih luas, dengan pemandangan taman di lantai dasar.

Aku berjalan mendahului.

"Kenapa tidak mengangkat teleponku?"

"Sibuk."

"Kamu pikir saya tidak sibuk?"

"Anda sampai datang ke sini hanya untuk mengatakan kalau Anda sedang sibuk?"

Fathan menghela napas. Mungkin sedikit jengkel. "Jadi, kenapa kamu menutup teleponnya?"

"Anda menelepon saya berkali-kali untuk menanyakan hal itu?" Entah dari mana datangnya keberanian untuk terus membantahnya.

"Hana, saya serius."

"Aku juga tidak sedang bercanda."

"Sebaiknya tidak di sini." Laki-laki yang hari ini mengenakan kemeja biru muda seperti warna blazer yang kupakai itu tiba-tiba beranjak.

Lho? Keningku berkerut.

"Saya lapar. Dosen sepertimu memiliki jam makan siang juga, kan? Tadi saya lihat kelasmu akan dimulai lagi dua jam ke depan. Jadi ada waktu untuk sholat dan makan di luar, jika tidak ingin makan di kantin kampus, bukan?"

"Eh, apa maksudmu? Aku tidak akan ikut." Aku membalikkan badan dan berniat kembali ke ruangan.

"Atau nanti saya datang saja ke rumah?"

Aku mengepalkan tangan. Apakah Fathan sedang mengancam?

--bersambung--


Jodoh Pasti Kembali [Completed]Where stories live. Discover now