BAB 2

7.6K 520 7
                                    

Aku termangu mengecap kembali ucapanku pagi itu. Ayah memang terlihat kesepian, tapi benarkah ia sangat membutuhkan pendamping baru?

Mana mungkin ayah bisa dengan cepat memalingkan hatinya dari ibu!

Setelah berpamitan pada ayah dan menitipkan setumpuk pekerjaan pada Mak Sani--seperti biasa, aku bergegas menuju carpot dan menyalakan Si Biru, motor matic, yang selama dua tahun ini setia mengantarkanku ke kampus.

Jarak dari rumah ke kampus sebetulnya bisa ditempuh dalam waktu tiga puluh menit, jika jalanan sedang lancar. Namun ada beberapa titik langganan macet pada jam-jam tertentu. Jika tidak ingin telat, aku harus berangkat minimal satu jam sebelum kelasku dimulai.

Saat Si Biru siap kupacu, kami kedatangan tante Anggi--tetangga depan rumah--dengan sebuah mangkuk di tangannya. Segera kumatikan mesin dan turun untuk menyapanya.

"Hana, sudah mau berangkat?"

Aku mengangguk sambil menyalami tangan hangatnya.

Guratan halus tampak samar terlihat di wajah cantik itu, menandakan usianya sudah beranjak senja. Pagi ini ia mengenakan baju terusan berwarna mocca dilapisi cardigan warna senada. Sangat cocok dengan kulitnya yang putih. Membuat tante Anggi terlihat lebih muda beberapa tahun dari usianya.

"Tante semalam bikin rendang buat dibawa Vina ke Jogya, bikinnya sengaja agak banyak," terangnya. "Sekalian mau ngembaliin mangkuk bekas asinan dulu." Tangan kirinya mengangkat sebuah mangkuk putih bermotif bunga mawar merah.

Aku ingat, saat teh Naura membuat asinan beberapa pekan lalu, dia membaginya ke beberapa rumah tetangga terdekat. Mangkuk itu kini kembali dengan isian lain di dalamnya.

Mungkin seperti inilah salah satu adab bertetangga yang sering almarhumah ajarkan. Berbagi makanan kepada tetangga sebagai bentuk interaksi sosial, demi menjaga keakraban dan kerukunan bertetangga.

"Terima kasih, Tante."

Aku menerima mangkuk yang ditutup plastik wrap itu dengan tatapan lapar. Rendang buatan tante Anggi memang lezat. Bukan kali ini saja beliau mengirimi kami masakan berbumbu kuat itu.

Beruntung Mak Sani segera keluar. Aku segera memintanya untuk membawakannya ke dalam.

"Nanti tolong disajikan untuk makan siang ayah saja, ya, Mak."

Mak Sani mengangguk sambil membawanya masuk, setelah turut mengucapkan terima kasih kepada tante Anggi.

Tante Anggi yang sudah kuanggap seperti orangtua sendiri pun berpamitan setelah bercengkrama sebentar untuk saling bertanya kabar, tak ingin membuatku terlambat katanya.

Aku kembali mencium tangannya, seraya mengantarnya ke depan. Kuikuti langkahnya dengan tatapan.

Semoga ayah bisa makan dengan lahap. Setidaknya, rendang buatan tante Anggi lebih menggiurkan daripada nasi goreng buatanku tempo hari. Eh, bagaimana kalau ayah menikah saja dengan tante ....

Ah, aku segera mengenyahkan ide itu, membuangnya jauh-jauh sebelum pikiranku menjadi liar.

"Bu Anggi itu selain cantik dan ramah, juga baik ya, Neng. Kayak almarhumah ibu," celetuk Mak Sani yang berhasil mengagetkanku. "Tapi kasihan, bu Anggi sudah ditinggal suaminya saat masih muda. Coba kalau mau menikah lagi," lanjutnya sambil membuka penutup tempat sampah dan mengisinya dengan kantong yang dibawanya dari dapur.

Sejak kapan Mak Sani mengomentari kehidupan orang lain?

"Dido'akan saja semoga tante Anggi bisa bahagia, Mak."

Mak Sani mengiyakan, kemudian pamit kembali ke dapur.

Melihat tante Anggi memang membuatku teringat akan almarhumah ibu. Ibu dan tante Anggi sudah berteman baik semenjak mereka menjadi tetangga di perumahan ini. Anak pertama dan kedua tante Anggi juga memiliki usia yang tak terpaut jauh denganku dan teh Naura.

Dulu, tak jarang kulihat mereka berdua menghabiskan waktu sekadar sharing pengalaman masalah pendidikan anak saat bertemu. Tante Anggi yang dulunya berprofesi sebagai pengajar, selalu memiliki banyak hal untuk dibagi dengan ibu.

Sayangya tante Anggi memilih untuk pensiun dini saat suaminya sakit dan harus menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit. Ia mendedikasikan dirinya untuk mengurus om Dandi selama dua tahun, walau akhirnya penyakit kanker getah bening yang diderita om Dandi harus membuatnya rela kehilangan sang suami hingga membesarkan ketiga anaknya sendiri.

Ya, rasanya agak sedikit janggal jika tiba-tiba aku memiliki pikiran suatu hari nanti akan benar-benar memanggil tante Anggi dengan sebutan ibu.

--bersambung--

🌸🌸🌸

Terima kasih bagi yang sudah mampir dan meninggalkan jejak dengan vote serta comment-nya

🌸🌸🌸

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Where stories live. Discover now