Bab 7

4.7K 374 7
                                    

Perasaan yang membekas selepas membaca buku harian itu tidak bisa hilang dalam sekejap mata. Butuh beberapa hari bagiku untuk menetralisirnya, termasuk memperbaiki sikap yang akhir-akhir ini sedikit berubah terhadap ayah.

Ada sedikit kesal yang bercokol dalam dada. Kenapa ayah tidak bisa peka dan mengerti sedikit saja perasaan ibu saat itu? Aku juga heran, apakah di dunia ini memang benar ada persahabatan antara laki-laki dan perempuan yang murni tanpa melibatkan perasaan suka di dalamnya?

Ya, bukan salah ayah memang jika ia berniat ingin melamar tante Sofi, karena ia memiliki hak untuk menentukan siapa yang akan dijadikannya istri. Namun, apakah ayah tidak pernah menyadari sedikit pun perasaan ibu terhadapnya?

Ibu juga tidak mengakui perasaannya terhadap ayah. Wajar jika ibu terluka dan hanya bisa memendamnya seorang diri.

Oh tidak! Rupanya aku telah terjebak dalam perasaan ibu saat itu.

Aku hanya bisa mendesah panjang untuk mengusir segala kesal itu agar segera menghilang jauh.

Ada sebuah nasihat bagus yang pernah kudengar. Seseorang yang terbiasa menulis buku harian sebaiknya segera menghancurkan bukunya, terlebih jika yang ditulisnya berupa amarah, kecewa, ataupun benci. Karena, saat ia membaca ulang perasaan yang diabadikan dalam tulisan, secara tidak sadar ia telah memanggil dan menghidupkan kembali perasaan itu.

Dengan kata lain, kita akan susah untuk bisa move on.

Setelah menyimpan buku harian ibu di dalam kamar, aku belum memiliki keberanian lagi untuk melanjutkan membaca kisahnya. Mungkin karena belum siap menerima apa yang akan terjadi setelah itu.

Apa yang kulakukan memang sudah salah dari awal; membaca buku harian orang lain tanpa izin. Bukankah itu sama dengan membuka rahasia dan luka batinnya?

Seharusnya ibu juga sudah memusnahkan buku-buku hariannya jika tidak ingin ada orang lain yang membaca, bukan malah menyimpannya di gudang. Ibu pasti tahu jika suatu hari aku atau teh Naura bisa menemukannya. Lalu, apakah ibu sengaja melakukannya?

Dalam beberapa hari ini aku yang sedang berusaha menenangkan diri supaya bisa berpikir jernih jadi banyak berpikir, apa saja manfaat dan mudarat yang kuperoleh dengan membaca buku harian ibu.

Akhirnya, setelah cukup lama menimbang, kuputuskan untuk mengakhiri saja semuanya. Mengakhiri kisah cinta segitiga yang tertulis dalam buku milik ibu.

Maka, di sinilah kini aku berada; di halaman belakang rumah!

Sejak malam datang, aku sudah sibuk menyiapkan apa saja yang akan kuperlukan untuk mengeksekusi keputusanku. Sebuah tong sampah besar yang terbuat dari besi dan sebuah korek gas. Ya, aku akan membakar habis buku-buku itu tanpa ampun.

Malam ini kebetulan rumah sedang sepi. Ayah belum pulang dari perjalanannya ke Lampung untuk mengurus proyek baru, sementara Mak Sani sudah pulang ke rumahnya sebelum kumandang azan magrib.

"Harus malam ini juga!" ucapku pada pantulan bayangan di depan jendela kaca dapur, meyakinkan diri sendiri.

Kutarik napas panjang sebelum memulainya seraya merapal basmalah. Namun, saat tanganku mengambil sebuah buku harian milik ibu secara acak dari atas meja kecil--yang telah kusiapkan sebelumnya--dan bersiap hendak merobek beberapa lembarnya untuk dilemparkan ke dalam tong sampah yang siap dibakar, keraguan pun tiba-tiba datang dan menghentikan aksiku.

Apakah aku benar-benar tega merobek dan membakar semuanya? Bagaimana jika ibu telah menuliskan bagian yang harus kuketahui demi meredam segala kekesalan kepada ayah? Mungkin ada bagian yang akan membuatku benar-benar kembali mengagumi ayah, bahkan lebih dari sebelumnya. Atau, sekedar tahu perjuangan ibu bagaimana bisa menikah dengan ayah.

Aku segera mundur beberapa langkah untuk kembali mengambil napas panjang.

Hampir saja!

Hampir saja aku bertindak gegabah. Apa yang akan terjadi jika seandainya aku berhenti membaca di bagian awal tanpa mengetahui bagian akhirnya? Mungkin aku akan menyesalinya suatu hari nanti.

--bersambung--

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Where stories live. Discover now