Bab 12 | 2

4.2K 365 8
                                    

"Tadi sudah dengar sendiri, kan?"

Aku terhenyak mendengar suara Ayah begitu dekat. Tahu-tahu sudah berdiri di hadapanku. Sejak kapan Ayah tahu aku bersembunyi sekaligus menguping?

Aku bangkit dengan wajah bersemu.

"Bagaimana pendapatmu?"

"Zahra--Zahra terserah Ayah saja." Kegugupan mulai melanda.

"Ayah tidak akan mengizinkan kalau ternyata kamu tidak suka--" Ayah sengaja menggantung kalimatnya.

Aku mendongak, lalu kembali menunduk.

Ah, bagaimana ini?

"Zahra menyukai Ilham," jawabku akhirnya, sambil memejamkan mata. Entah wajahku sudah semerah apa.

Ayah tersenyum. "Oh, kalau begitu jawabannya sudah ada." Ayah memangut-mangutkan kepala. "Nanti kamu kabari Ibu, minggu depan keluarga Ilham akan datang. Biar Ibu siap-siap memberikan jamuan yang terbaik."

Rasanya seperti ada ribuan bunga mawar yang sedang mekar di pelupuk mata. Indah.

Bagai jutaan kupu-kupu ikut terbang berputar-putar di perutku. Aku seperti bisa merasakan kebahagiaan Ibu.

Tapi euphoria itu seketika hilang saat kesadaranku pulih.

Ada apa dengan Ilham? Kenapa dia mendadak melamarku?
___

Namun, pertanyaannya juga ikut mengganggu pikiranku. Saat acara lamaran itulah, pertanyaan Ibu terjawab.

Minggu, 9 Desember 1984

Rombongan keluarga Ilham akhirnya tiba. Rombongan yang kumaksud adalah keluarga dekat seperti kakek-nenek, paman-bibi, dan para uwa.

Acara lamaran sederhana yang terkesan serba mendadak itu berjalan dengan lancar. Dihadiri para sesepuh dan beberapa saudara Ayah dan Ibu yang sempat dikabari.

Aku melihat Ilham duduk diantara kedua orangtuanya. Wajahnya terlihat gugup, tapi aku tidak menemukan rona bahagia di sana. Sedikit kontras dengan wajah-wajah bahagia di sekeliling kami.

Eh, apakah Ilham tidak bahagia?

Entah kenapa perasaanku menjadi kurang nyaman. Sampai-sampai selama acara pikiranku dipenuhi duga yang tidak-tidak.

Apakah Ilham terpaksa? Apakah ada yang memaksa?

Acara dilanjutkan dengan menyematkan sebuah cincin di jari. Ibu Ilham yang memakaikannya. Lalu acara ditutup dengan doa.

Mataku tak lepas dari cincin yang kini terpaut di jari manis, tapi bukan cincin bermata amethyst yang pernah kami pilih dulu!

Hari dan tanggal pernikahan kemudian ditetapkan. Dua bulan kedepan akan digelar akad nikah beserta resepsinya.
___

Senin, 10 Desember 1984

Kepalaku masih dipenuhi tanda tanya. Kemarin kami sama sekali tidak sempat saling menyapa. Masing-masing disibukkan dengan keluarga yang memberi selamat dan sedikit nasihat untuk bekal pernikahan.

Kabar pertunanganku pun sampai kepada teman-teman sekolah dan rekan kerja. Semuanya kompak; tidak percaya.

Saat istirahat salat duhur, aku menemui Ilham di kantornya. Jarak kantor kami tidak lebih dari 300 meter.

"Ada yang ingin kubicarakan," kataku serius. "Bagaimana kalau nanti pulang bersama?"

Ilham hanya mengangguk.

Pukul empat lebih lima belas menit, Ilham sudah menunggu di lobby. Sebelum pulang, aku mengajaknya mampir ke sebuah rumah makan.

"Apa yang terjadi?" tanyaku tidak sabar, sebelum pesanan kami datang.

Ilham tampak bingung. "Maksudnya?"

"Kenapa kamu mendadak melamarku?"

Ilham mengambil napas sebelum menjawab. "Seminggu lalu aku sudah mendatangi Ayahmu. Kurasa tidak terlalu mendadak jika seminggu kemudian kami datang. Keluargamu juga sudah siap dengan jamuan istimewa kemarin. Kamu tidak suka aku melamarmu?" Ilham balik bertanya.

"Bukan begitu," kilahku. "Aku hanya merasa aneh dengan semua yang serba tiba-tiba ini."

Ilham menyungging senyum. "Ayolah, kamu juga akan terbiasa nanti."

"Apa karena pengakuanku waktu itu, kamu melamarku?" tanyaku hati-hati.

"Bukan juga."

"Lantas?"

"Mungkin karena kita berjodoh."

"Aku serius, Ilham," tegasku.

"Kamu tidak melihat aku sedang serius?"

"Kalau begitu, jawab aku! Kenapa kamu mau menikah denganku? Apa kamu mencintaiku?"

Rasanya sudah seperti seorang jaksa saja. Aku begitu memaksanya untuk mau mengaku.

"Aku--aku hanya takut kehilanganmu."

Jawaban jujurnya seketika membuatku terdiam.

--bersambung--

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Where stories live. Discover now