Bab 9 | 2

4.4K 345 0
                                    

"Ada orang yang kamu sukai selama ini?"

Seketika kurasakan wajahku memanas. Ilham menatapku, tapi kupalingkan lagi pandangan.

"Tentu saja ada," desisku, tanpa berani menatapnya.

"Serius? Siapa?" tanya Ilham antusias, seperti menunggu pengumuman penting.

"Kamu!" kataku. Lalu kuberanikan diri mengintip reaksinya.

Sedetik.

Dua detik.

"Nggak lucu!" Ilham kembali melempariku bantalnya.

Aku bergeming dengan tawa yang sedikit dipaksakan. Seperti yang sudah-sudah, ia tidak mempercayainya. Mungkin baginya, terlalu mustahil jika ada cinta di antara kami.

Seperti dugaanku, Ilham tak pernah menganggapku sebagai seorang wanita. Di matanya, Zahra adalah wanita tomboi yang bisa ia perlakukan selayaknya teman laki-laki lain. Itulah salah satu alasan kami bisa bersahabat selama ini. Mungkin.

Ya, sepertinya aku tidak memiliki harapan lagi. Apakah sebaiknya aku menyerah saja?

"Kamu kenapa, sakit?" Pertanyaan Ilham mengejutkanku. Ia berusaha bangkit untuk duduk.

"Nggak apa-apa, tiduran aja." Aku menahan tubuhnya agar tetap berbaring.

"Zahra, kamu kenapa?" Ia meneliti wajahku yang memerah. Tentu saja aku tak bisa menyembunyikan rona di balik kulit putih yang diturunkan ibu kepadaku.

Mungkin Ilham juga melihat sikapku yang sedikit aneh. Apakah kali ini pengakuannya terlalu kelihatan ... jujur?

"Kamu serius?" Ia menatapku dengan sorot tidak percaya.

"Tentu saja, bercanda." Aku terbahak. "Kamu bukan tipeku, Ilham." Aku berseloroh.

Ilham terlihat lega, sambil mengelus dadanya. "Jangan membuatku jantungan!" Ia menghela napas.

Tentu saja kami menjadi sedikit canggung setelah itu. Aku pamit untuk pulang beberapa menit kemudian.

Aku menghela napas lega saat berhasil meninggalkan kamarnya dengan tetap berjalan tegak, tanpa kehilangan keseimbangan.

Bukan, bukan Ilham yang tidak memenuhi kriteria laki-laki idamanku, tapi akulah yang tidak memenuhi kriteria wanita idamannya. Tipikal yang disukainya adalah wanita seperti Sofi. Lemah lembut dan anggun!

___

Jumat, 28 September 1984

Aku memutuskan untuk pergi ke sebuah toko aksesoris tak jauh dari kantor. Ada beberapa pernah-pernik wanita di salah satu sudutnya.

Dengan ragu kuhampiri etalase dengan beberapa keranjang jepitan rambut di atasnya. Lalu memilih salah satu yang sekiranya cocok dan tidak terlalu mencolok.

"Cari apa, Teh?" Seorang wanita dengan dandanan menor mendekatiku. Sepertinya ia penjaga toko.

"Eh, lihat-lihat dulu," jawabku, salah-tingkah.

"Ini jepit model terbaru, Teh. Cara pakainya juga mudah, tinggal dibuka di bagian sini," jelas sang pegawai sambil membuka pengaitnya. "Pasti cocok kalau Teteh yang pakai. Mau dicoba?"

Aku awalnya hendak menggeleng, tapi tiba-tiba kepalaku mengangguk. Wanita itu pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan cepat, jepit berbentuk bunga warna merah itu pun bertengger di kepalaku.

"Tuh kan, cantik!" serunya.

Akhirnya aku pulang tanpa melepaskan jepit itu, setelah menyerahkan beberapa koin uang logam pada wanita gemuk yang duduk di belakang meja kasir.

Orang pertama yang mengerutkan dahinya saat melihatku mengenakan jepit rambut adalah ibu.

"Jelek ya, Bu?" Dengan putus asa, kucoba melepaskannya.

"Bukan." Ibu menahan gerakan tanganku. "Sejak kapan kamu suka berdandan?"

Aku meringis. "Cuma iseng, coba. Tapi kayaknya aku memang nggak cocok pakai aksesoris kayak gini." Aku menggembungkan mulut.

"Sebaliknya, kamu terlihat lebih cantik dan," ibu diam sejenak. "Anggun!"

Bola mataku melebar. Aku segera masuk ke kamar dan mematut diri di depan cermin.

___

Sabtu, 29 September 1984

Selepas mandi, aku membuka kotak milik Puji dan menemukan sebuah pemulas bibir warna merah. Puji yang tidak sepertiku, rajin merawat diri dan selalu memperhatikan penampilannya.

"Pinjam," ucapku pelan. Nyatanya memang tidak ada siapa-siapa di dalam kamar. Sejak tahun lalu, Puji tinggal di rumah saudara jauh Ibu di Yogyakarta untuk belajar.

Tanganku mulai memulaskannya pada bibir, dengan kaku. Sejenak kuperhatikan pantulan wajahku di cermin, lalu segera menghapus gincu merah itu dari bibirku.

--bersambung--



Jodoh Pasti Kembali [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang