Bab 21

4.3K 440 26
                                    

Tante Sofi: Hana, Tante boleh minta nomor Ayahmu?

Apa aku tidak salah baca?

Kukucek kembali mata pandaku yang semalam kurang tidur. Hari libur bukan waktunya bersantai ketika ada jurnal yang harus ku-review, termasuk menyelesaikan paper yang terjeda karena mempersiapkan soal ujian.

Ayah sedang menyeduh kopi begitu aku keluar dari kamar dan bergegas ke kamar mandi sebelum menemuinya.

"Ayah, apa boleh Hana memberikan nomor HP Ayah pada tante Sofi?" tanyaku.

Ayah menaikkan sebelah alisnya. "Maksudnya? Hana mau memberikan nomor Ayah pada Sofi?"

Aku mengangguk. "Iya, tante Sofi yang minta barusan. Boleh?"

Aku menunggu persetujuannya sambil menggigit bibir, berharap Ayah mengizinkan.

Dari kecil kami sudah dibiasakan untuk meminta izin terlebih dahulu jika menginginkan barang atau sesuatu dari orang lain, termasuk urusan nomor telepon--yang mungkin dianggap sepele oleh orang lain, hingga kebiasaan itu terbawa sampai sekarang.

"Boleh." Ayah menjawab datar, tapi aku yakin hatinya sedang tidak setenang kelihatannya.

"Terima kasih, Ayah." Aku buru-buru kembali ke kamar dan mengirimkan nomor ponsel Ayah pada tante Sofi.

Apakah tante Sofi sudah mulai tertarik untuk melakukan pendekatan lagi dengan Ayah? Aku seharusnya merasa senang, bukan? Berarti hubungan keduanya sudah mengalami kemajuan.

Tante Sofi: Terima kasih, Hana.

Hana: Sama-sama, Tante. Oya, boleh Hana tanya sesuatu?

Tante Sofi: Apa, Sayang? Tentu boleh, selama Tante bisa jawab.

Hana: Apakah ada yang akan menikah dalam waktu dekat di Surabaya?

Hipotesaku mengarah ke sana atas kecurigaan semalam.

Tante Sofi: Ya, Azka akan menikah bukan depan dengan gadis Surabaya yang bekerja di kafe Malang. Kenapa? Apa Fathan pernah cerita?

Hana: Ya, kak Fathan pernah cerita waktu itu sedang mengurus persiapan pernikahan di Surabaya, tapi hanya sekilas. Jadi, Azka itu temannya kak Fathan?

Tante Sofi: Azka itu sepupunya Fathan. Anaknya adik Tante di Cirebon. Setahun terakhir Azka ikut bantu di gerai yang di Malang. Lalu ketemu jodohnya sama karyawan sana. Tapi bulan lalu Azka sempat dirawat karena DBD, jadi pulang ke Cirebon dulu setelah itu. Fathan bantu persiapan pernikahannya karena Fathan sendiri yang menyewa WOnya. Teman Fathan ada yang jadi konsultan Wedding Organizer di Surabaya.
Apa jawaban Tante cukup jelas?

Hana: Sangat jelas, Tante. Terima kasih.

Tante Sofi: Sama-sama. Kalau begitu, Tante mau ke dapur dulu, ya.

Hana: Iya, Tante. Hana juga mau buat sarapan dulu untuk Ayah.

Selama membuat sarapan, pikiranku terus berkejaran pada kesimpulan yang terus mengalir dalam kepala. Satu-satunya teka-teki yang belum terpecahkan adalah; siapa Dinda?

Mungkin karena saking seringnya mengerjakan makalah penelitian, otakku jadi lebih terasah untuk mencari beberapa kemungkinan dan membuat kesimpulan sementara. Padahal, perkara siapa Dinda tentu bukan urusanku. Tidak ada hubungannya denganku.

"Bau gosong apa itu?"

Astagfirullah, aku lupa sedang menggoreng ayam!

***

Semenjak menyelesaikan sarapannya, diam-diam kuamati Ayah yang sebentar-sebentar melihat ke arah ponsel. Pagi ini pun Ayah berjemur di halaman tanpa ditemani buku seperti biasa, melainkan ponsel. Sesuatu yang baru menurutku, sejak Ibu tiada.

Apakah Ayah sedang menunggu telepon penting? Atau sedang menunggu pesan dari tante Sofi?

Lalu saat ponselnya berbunyi, cepat-cepat diperiksanya. Tidak lama berselang, senyum yang lama tidak kulihat pun tersemat di bibir. Berapa menit kemudian keningnya berkerut menekuri layar ponsel, tapi beberapa menit berikutnya senyum itu kembali muncul.

Apa Ayah sedang bahagia? Pubertas kedua, atau bahkan pubertas ketiga?

Aku mengamatinya dengan perasaan bahagia, haru, sekaligus aneh! Aku senang melihat senyum Ayah kembali, tapi entah kenapa hatiku seperti ada yang mengganjal.

Apa aku takut kehilangan Ayah?

--bersambung--

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Where stories live. Discover now