Bab 17

4.2K 389 11
                                    

Ayah sudah beranjak ke kamar ketika aku sampai di rumah. Pukul sembilan kurang lima belas menit. Sebenarnya bukan kebiasaan Ayah tidur lebih awal, mungkin ada yang sedang dikerjakannya di dalam.

Kuketuk pintunya, memastikan semua berjalan dengan baik, termasuk bertanya apakah makan malamnya sudah dihabiskan. Tidak ada jawaban.

Aku beralih ke meja makan. Mak Sani hari ini memasak Ikan Nila Pesmol, ikan yang dimasak dengan bumbu kuning. Sepertinya Ayah sengaja tidak menghabiskan semuanya untukku. Hampir saja kusendok ikan itu ke mulut, jika tidak ingat malam ini perutku sudah terisi penuh. Kuputuskan menyimpannya di dalam kulkas, untuk kupanaskan esok hari.

Kuusap perut yang membuncit. Setelah menyeruput habis satu cup besar matcha latte sambil mendengar kisah tante Sofi tentang Ibu, aku memesan steak salmon dengan segelas lemon tea. Pantas saja tante Sofi merekomendasikan menu itu, karena rasanya berbeda dengan steak salmon yang pernah kucicipi, lebih juicy. Salmon yang disajikan dengan mashed potatoes itu berhasil membuatku kekenyangan.

Kuhempaskan diri di sofa sembari mencari saluran televisi. Aku belum terlalu mengantuk. Menonton sebentar mungkin bisa kulakukan sebelum beranjak tidur. Namun bukan fokus pada layar televisi tiga puluh dua inci yang berubah setiap kutekan tombol panah pada remotnya, melainkan pada pembicaraan kami tadi di kafe.

"Jadi suami Tante sudah meninggal sepuluh tahun lalu?"

Tante Sofi mengangguk, mata teduhnya menyisakan duka di sana.

"Sakitnya tidak ketahuan, atau mungkin beliau yang menyembunyikannya dari Tante. Malam itu, saat hujan besar, suami Tante terkena serangan jantung dan tidak terselamatkan."

"Aku turut berduka," kataku tulus, sambil mengatupkan kedua tangan di atas tangannya di atas meja.

"Ya. Itu sudah cukup lama, tapi rasanya baru saja kemarin Tante memeluk tubuh yang sudah tidak bernyawa itu sambil menangis. Laki-laki yang telah menemani Tante melewati cobaan hidup dan membuat Tante berani berdiri dengan tegar menghadapi semuanya sudah tiada."

Satu tetes air matanya jatuh, disusul dengan tetesan lainnya.

Aku mengeratkan genggaman pada tangannya, berusaha menguatkan. Bulir-bulir hangat di sudut mataku pun tidak terasa turut mencair.

"Tante kuat, insya Allah. Buktinya, Tante sudah berhasil membesarkan putra Tante. Om di sana mungkin sangat bangga dan sudah merasa tenang."

Tante Sofi menghapus air matanya dengan tisu.

"Tante tidak berpikir untuk menikah lagi?"

"Sepertinya tidak ada pikiran ke arah sana. Sempat ada teman Tante yang melakukan pendekatan, tapi segera menjauh setelah Fathan menentangnya. Katanya tidak pantas bersanding dengan Tante yang bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik. Ah, ada-ada saja memang anak itu kalau sudah berlagak sok tua." Senyumnya membuat wajah mendung itu kembali ceria.

"Eh itu dia orangnya datang." Tante Sofi melambaikan tangan pada seseorang di belakangku.

Fathan? Aku menoleh. Laki-laki berusia sekitar tiga puluh dua itu mendekat. Wajahnya tidak banyak berubah dari foto yang pernah kulihat sehingga tidak begitu sulit untuk mengenalinya. Sorot matanya dalam dan menyimpan misteri, hidung panjang dan menjulang, serta bibir yang tipis. Wajahnya hampir delapan puluh persen menurun dari ibunya, kecuali bentuk mata.

Fathan sudah sampai di ujung meja dan mengulurkan tangan untuk mencium tangan bundanya. Setelah bertanya apakah tadi perjalanan bundanya lancar, dia lalu mengarahkan pandangannya ke arahku, seperti baru menyadari bahwa ada orang lain di sana selain bundanya.

"Fathan, ini Hana, putrinya teman lama Bunda." Tante Sofi memperkenalkan kami secara langsung.

Aku mengangguk sambil menyebutkan nama dan mengatupkan tangan di depan dada sebagai ganti bersalaman tangan.

"Fathan," jawabnya sambil melakukan hal yang sama, mengatupkan kedua belah tangannya di dada. Saat itulah aku bisa melihat sebuah cincin dari jenis platinum yang melingkar di jari manisnya.

--bersambung--


Jodoh Pasti Kembali [Completed]Where stories live. Discover now