Extra part | End

10.7K 677 99
                                    

Sepagi ini rumah sudah terdengar ramai dan disibukkan dengan berbagai aktivitas, padahal matahari belum menampakkan dirinya di ufuk timur. Entah jam berapa semalam aku jatuh tertidur. Rasanya menunggu 1 jam bergulir sudah seperti menunggu satu minggu saja.

Wajah Bunda muncul dari balik pintu setelah terdengar tiga kali suara ketukan, membuat mataku beralih dari ponsel yang sedang kupegang.

"Sudah bangun?" Senyumnya mengembang sempurna. Senyum yang sama di wajahnya saat kutemukan Bunda sedang 'bersenang-senang' bersama Hana di dapur malam itu.

Kalau boleh jujur, aku sudah merindukan senyum Bunda seperti itu semenjak lama, sebelum Bunda mendapat vonis dokter. Lalu entah mengapa sedikit jealous ketika senyumnya ternyata bukan untukku, melainkan untuk wanita yang baru dikenalnya beberapa hari saja.

Saat Bunda memintaku untuk mengantar Hana pulang, seperti ada sesuatu yang janggal, hingga akhirnya kuiyakan. Berharap bisa mendapatkan sedikit penjelasan, walau ternyata sepanjang perjalanan kami hanya membisu.

Sejenak kuperhatikan wajah itu lewat kaca spion dalam, dengan sesekali mencuri pandang. Mata bening itu terlihat bersinar saat terkena pendar cahaya ponselnya. Semua kata yang ingin kumuntahkan hilang, semua tanya yang ingin kuajukan seketika lenyap. Mataku tersihir dengan mata beningnya.

"Sudah mandi?" Tiba-tiba saja Bunda sudah berada di depan mata sambil mengayunkan tangannya di hadapanku.

Aku mengerjap dan mendapati sebuah senyum terselip di bibirnya.

"Iya, tadi sudah mandi. Ini siap-siap mau ke masjid."

Wanita itu duduk di sampingku--di ujung tempat tidur--sambil menggenggam kedua belah tanganku hangat. "Entah kapan terakhir Bunda merasakan perasaan seperti ini," ujarnya. Bola matanya bergerak-gerak mengamati wajahku.

"Bunda bahagia?"

Kepalanya mengangguk. Ada cairan bening di sudut matanya. Segera kuusap dengan sebelah tangan.

"Bunda teringat papahmu."

Kubenamkan kepalanya di dadaku, lama. Membiarkan sampai tangisnya reda.

***

Keluarga besar almarhum Papah dari Malang sudah sebagian besarnya sampai sejak semalam, sementara keluarga besar Bunda dari Cirebon baru bergabung selepas subuh. Semua berkumpul di ruang tamu sambil mengecek persiapan sebelum berangkat.

Caca yang hari ini mengenakan abaya biru muda menghampiriku--yang tengah mengobrol bersama dua sepupu lain di samping tangga--dengan senyum lebarnya.

"Nervous, Kak?" tanyanya. Gadis itu semenjak kecil terbiasa memanggilku dengan sebutan 'Kak' bukan 'Mas', hanya karena aku lahir di Jakarta, walau semenjak SMP sudah tinggal di Malang.

Aku hanya melayangkan senyum kecil sambil menyugar rambut.

"Lucu, ya. Padahal hari itu Kak Hana udah terang-terangan menolak Kak Fathan."

Aku mengernyit.

"Menolak? Kapan?" Kedua pemuda yang hanya selisih satu tahun dengan Caca itu menjadi antusias untuk mendengar kelanjutan ceritanya.

"Jangan suka ngarang cerita!"

Caca terkekeh melihat ekspresiku.

"Itu lho, waktu itu Kak Hana ke rumah mau ketemu sama Caca, tapi Kak Hana malah pulang sambil marah-marah karena bertengkar sama Kak Fathan di luar. Padahal besoknya Tante berangkat ke Singapur itu."

"Jadi kamu nguping, ya?"

Caca kembali terkekeh. Aku menjadi bulan-bulanan karena pipiku sudah memerah.

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Where stories live. Discover now