Bab 14

4.5K 349 8
                                    

"Revisi makalah kamu udah submit? Kalau nggak salah batas akhir registrasinya lusa, ya? Kamu jadi daftar sebagai pemakalah, kan?" Salma bertanya sambil tangannya tetap sibuk mengetik sesuatu di ponsel. Matanya sesekali menatapku, lalu kembali pada layarnya lagi.

Beginilah kalau dua hari saja kami tidak bertemu, akan ada pertanyaan beruntun Salma. Beberapa hari terakhir obrolan kami dalam chat dan telepon hanya seputar materi dan tugas untuk mahasiswa saat Salma ditugaskan mengikuti sebuah training singkat di Bogor.

"Iya, tiga hari lalu udah submit revisiannya," jawabku sambil menutup laptop dan mencabut steker pada soket yang tak jauh dari meja.

"Oh, syukurlah. Jadi berangkat kamis malam, ya? Nginep di mana nanti? Eh, sudah cari info lagi tentang kafenya?"

Aku menghentikan gerakan menggulung kabel. Pertanyaan terakhir Salma mengingatkanku kembali pada tante Sofi. Aku memang tidak berniat menceritakan soal buku harian Ibu pada Salma.

"Entahlah."

"Kenapa?" Salma mengangkat wajahnya dan memandangku. "Bukan prioritas lagi?"

Sejenak aku merasa ragu. Haruskah menemuinya?

"Bukannya ada sesuatu yang ingin kamu kembalikan? Sekarang sudah tidak perlu dikembalikan lagi?" Dia menatapku.

Salah satu alasan menemui tante Sofi adalah mengembalikan bungkusan majalah yang disimpan Ibu. Namun, seberapa penting kah majalah itu untuk dikembalikan sekarang?

Akhirnya kepalaku mengangguk. "Ya, mungkin akan kusempatkan dulu ke sana. Walau tidak yakin bisa mendapat info lebih banyak."

"Aku punya kenalan di Malang. Kalau kamu mau, dia bisa bantu dan nemenin kamu keliling selama di sana. Mungkin dia juga bisa bantu kasih info yang sedang kamu cari."

"Kalau itu aku juga ada teman. Dosen muda di UB, katanya mau bantu carikan penginapan juga. Aku bisa minta tolong dia."

"Oh, syukur kalau begitu." Salma mematikan layar ponsel dan memasukkan ke dalam jaket yang sudah dikenakannya beberapa menit lalu, saat melihatku selesai mengemas barang.

Waktunya pulang.

"Yuk," kataku menghampiri Salma yang sudah menunggu di ambang pintu.

***

"Kafenya nggak terlalu jauh kalau dari sini, sekitar dua puluh atau tiga puluh menit. Boleh aja kalau sepulang seminar langsung kuantar ke sana. Sekalian mampir ke Malang Night Paradise. Mumpung lagi di sini. "

Aku mengingat percakapan tadi pagi dengan Mia--teman yang kukenal melalui sebuah komunitas menulis--sebelum berangkat ke seminar hari terakhir ini. Maka sepanjang pemaparan makalah terakhir, kepalaku sudah tidak bisa menyimak penjelasnnya, walau bahasan yang disajikan sebenarnya cukup menarik.

Mataku terus melirik jam yang melingkar di tangan kiri.

Selepas penutupan dan mendaftarkan prosiding seminar, buru-buru kucapai masjid kampus untuk menemui Mia.

"Mau rehat dulu?" tanyanya.

"Nggak perlu. Nanti di sana aja."

Mia mengangguk lalu membawaku ke tempat yang telah kami sepakati dengan motor Beat-nya.

"Kata temanku, owner kafenya memang Kak Fathan, teman kampusnya temanku." Mia sedikit mengurangi laju motor supaya perkataannya bisa kudengar.

"Kak Fathan?" Aku mengernyit.

"Itu, laki-laki dalam foto yang Kak Hana kemarin tunjukkin di Fb."

Aku mengangguk-anggukan kepala.

"Tapi katanya kak Fathan jarang ada di sana. Semoga saja hari ini ada."

"Punya kesibukan lain?"

"Katanya punya beberapa kafe gitu di beberapa kota, jadi paling ngecek berkala aja sih setiap minggunya. Member Asosiasi Pengusaha Muda Muslim Indonesia."

Oh!

Aku tidak lagi berkomentar. Kepalaku terasa berat, mungkin karena beberapa hari ini kurang istirahat dan jadwal seminarnya cukup padat--yang sayang jika dilewatkan.

Kami tidak melanjutkan percakapan. Kupalingkan pandangan ke arah kiri jalan dan menikmati pemandangan kota Malang menuju arah Batu menjelang senja.

Terkahir aku ke Malang adalah sepuluh tahun lalu, bersama teh Naura, Ayah, dan almarhumah Ibu.

--bersambung--

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Where stories live. Discover now