Extra Part | 2

6.9K 451 18
                                    

"Bunda mau ketemu Hana nanti sore di SOTTA." Bunda berbicara lewat sambungan telepon, saat kakiku baru saja menginjak lobby hotel. Ada tamu harus kutemui sore ini.

"Hana?"

"Putrinya teman Bunda, yang menitipkan bungkusan waktu itu di Malang."

"Oh!"

Tiba-tiba saja wajah pemilik mata bening itu melintas dalam kepala. Lalu sejurus kemudian bayangannya seperti menghantui pikiran. Terlebih, saat rasa penasaranku mendorong untuk mencari tahu lebih banyak tentang siapa dia sebenarnya. Sebab, kehadirannya, membuat Bunda terlihat gelisah.

Aku masih mengingat siang itu. Bunda hanya termenung lama di depan sebuah kotak berisi majalah usang saat kutanya apakah Bunda mengenal pengirimnya. Lalu lamat-lamat kudengar mulutnya bergumam.

"Seperti dugaanku. Mereka sebenarnya saling suka. Hanya saja kehadiranku mengacaukan segalanya."

"Siapa?" tanyaku.

Bunda mengerjap. Tanpa menjawab, ditutupnya kotak itu, lalu beranjak ke dalam kamar.

Mungkin aku harus menemui wanita itu. Mencari tahu apakah ada maksud lain di balik kehadirannya, yang membuat Bunda gelisah, tapi terdengar bersemangat di kesempatan lain.

Padahal, semenjak mengetahui penyakitnya hampir satu tahun lalu, bisa dikatakan Bunda kehilangan semangat hidup dan seperti ingin menyerah. Bahkan, setiap kubujuk untuk melakukan pengobatan yang lebih baik pun, selalu mendapat penolakan.

Namun yang aneh, kudengar nada antusias Bunda dari suaranya tadi.

Selepas menemui seorang tamu penting, segera kularikan mobil menuju SOTTA. Berharap Bunda dan wanita itu masih di sana.

Benar saja. Bunda terlihat lebih 'hidup' saat berbincang dengan wanita itu. Kakiku mungkin akan terpaku di lantai, jika saja Bunda tidak melihatku dan melambaikan tangannya.

Pelan-pelan kudekati mereka, sambil menikmati wajah bahagia Bunda.

Ya Tuhan, bahkan aku tidak ingat kapan terakhir Bunda tersenyum seperti itu!

Sepulang dari SOTTA, Bunda seperti tidak kehilangan kata menceritakan siapa Hana dan bagaimana mereka bisa dekat dalam waktu sesingkat itu. Saat kutanya hubungan spesial apa antara Bunda dengan orangtuanya, beliau kembali diam sampai akhirnya kami tiba di rumah.

"Laki-laki itu ... dulu pernah hadir dalam kehidupan Bunda." Ucapnya ketika hendak melepas sabuk pengaman. "Saat Bunda meninggalkannya, sahabat terbaiknya selalu hadir untuk menghapus lukanya. Sekarang, setelah wanita itu pergi, haruskah Bunda yang menghapus duka dalam hidupnya?"

Aku memandang Bunda dengan tatapan tidak mengerti. Pertanyaan itu tentu saja tidak ditujukannya padaku, melainkan pada dirinya sendiri. Ada bening di sudut matanya saat beliau turun dari mobil.

Seharusnya aku berterima kasih pada wanita bernama Hana karena telah mengembalikan senyum Bunda, walau hanya bertahan dalam hitungan jam. Namun entah mengapa, kalimat terakhir Bunda begitu menggangguku.

Apa Bunda berniat kembali pada laki-laki di masa lalunya?

***

Kubaca ulang pesan yang kukirim pada Hana. Mungkin wanita itu sedang kesal dengan pesan yang kutulis untuknya, sampai dia menyebutku dengan panggilan 'Anda'.

Beberapa saat kemudian aku hanya memandangi isi pesannya, menimang apakah perlu meminta maaf atas perkataan kasarku atau tidak. Beberapa kali kutulis pesan untuknya, lalu segera kuhapus sebelum menekan tombol 'kirim'. Mengetiknya lagi, lalu kembali menghapusnya. Hingga sebuah panggilan masuk, dengan suara yang terdengar panik.

Kutegakkan kepala ketika mendengar semua penuturannya.

***

Mungkin inilah bentuk permintaan maaf yang bisa kulakukan atas rasa bersalah semalam. Meskipun terlihat konyol karena sepagi ini harus datang ke rumah seseorang yang baru kukenal.

Selepas benda itu ditemukan, malam itu juga aku kembali ke kafe untuk mengambil barangnya yang tertinggal. Hal yang masih tidak kupercayai sampai sekarang, kenapa mau melakukannya sejauh ini.

Kukurim pesan jika sudah berada di depan rumahnya, tapi masih belum terbaca setelah lima menit berselang. Kutekan nomornya dan berusaha menghubungi beberapa kali, sampai terpikir untuk mengetuk saja pintu rumahnya. Beruntung ada seorang seseorang yang bisa kutanyai.

Tidak lama berselang, wanita bermata bening itu keluar dengan wajah yang memucat mendapatiku sudah berdiri di depan rumahnya. Segera kualihkan perhatian pada ponsel yang masih kupegang.

"Maaf," katanya.

Aku masih berpura-pura tidak menyadari kehadirannya saat ia mendekat.

"Teleponnya tidak terangkat." Ada nada penyesalan dalam suaranya. Entah karena teleponku, atau karena aku sendiri yang mengantarkannya.

"Ini?"

Kuacungkan benda itu di hadapannya. Wanita itu mengangguk dan menerimanya dengan kening sedikit mengerut.

Ah, perasaan macam apa ini? Kenapa aku ingin memandangnya lama-lama?

--bersambung--

🌸🌸🌸

Terima kasih bagi yang telah berkenan menunggu.

😍🙏





Jodoh Pasti Kembali [Completed]Where stories live. Discover now