Bab 25

4.3K 452 41
                                    

"Mami dan Papinya Sisi udah jalan ke mari, katanya kerjaannya sudah selesai." Tante Widya memberi tahu selepas memutus sambungan telepon dengan putrinya. "Nggak apa-apa kalau kami pulang duluan?" Beliau terlihat tidak enak hati.

"Iya nggak apa-apa. Lagian kasian Sisi takut kemalaman, kan besok masih sekolah. Iya, Sayang?" Tante Sofi menjawab dengan lembut, lalu beralih pada Sisi yang sedang mengelap mulut sisa lelehan eskrimnya.

"Karena kami yang pulang duluan, kali ini kami yang traktir." Giliran Om Saeful yang bicara, bersiap berdiri.

"Nggak usah, kan saya yang undang. Kali ini giliran saya yang bayar." Tante Sofi buru-buru mencegah saat Om Saeful hendak memanggil pelayan untuk meminta kertas tagihan.

"Jangan gitu dong, Sofi. Kami udah senang bisa ngumpul lagi." Tante Widya mendorong pelan tubuh suaminya supaya segera ke kasir.

"Bagaimana kalau kita bayar masing-masing saja?" Ayah mencoba menengahi.

Aku menebak drama siapa yang akan membayar tagihan ini masih akan berlangsung lama. Namun, tiba-tiba saja Fathan membuat semuanya terdiam dengan semua mata tertuju ke arahnya.

"Sudah Fathan bayar semua tadi, sekalian ke toilet."

Tante Widya dan Om Saeful mengaduh bersamaan.

"Lain kali Om yang traktir, ya," ucap Om Saeful sambil menepuk bahu Fathan dan tersenyum lebar. "Terima kasih, Fathan. Semoga bisnisnya sukses. Oh iya, semoga cepat nikah dan punya momongan juga, biar Bundamu nggak kesepian."

Semua--kecuali Fathan--mengaminkan dengan kencang, termasuk aku. Disusul dengan riuh suara tawa. Setelah bersalam-salaman, Tante Widya dan Om Saeful pun akhirnya pamit saat putri dan menantunya datang.

"Jadi kapan rencananya Fathan akan menyusul?" Ayah melanjutkan menggoda Fathan yang wajahnya sudah mulai memerah.

"Apa kita jodohkan sama Hana saja?" Tante Sofi menimpali, merasa mendapat jalan.

Nah, kan! Aku kena juga!

"Kayak zaman Siti Nurbaya aja deh, Bun. Masih musim, ya, jodoh-jodohan?"

Caca terbahak. Gadis yang sedang menyusun skripsi di tahun terakhir kuliahnya itu padahal dari tadi lebih sering memilih diam.

"Muka kak Fathan udah merah gitu, Tan. Kayak kepiting yang tadi Caca makan."

Fathan menoyor kepala Caca, sepupu dari Papahnya. Mataku agak kaget melihat kedekatan mereka.

Ternyata Fathan jenis manusia yang bisa 'bercanda kasar' juga.

"Bagaimana, Hana setuju, kan?" Tante Sofi beralih kepadaku.

Aku terperangah.

"Hana cariin jodoh buat Ayah dulu aja, Tante." Aku mengalihkan pandangan pada Ayah yang baru saja menghentikan tawanya.

Tante Sofi beradu pandang dengan Ayah beberapa detik.

"Sudah yuk, Bun. Masih ada yang mau dibahas?" Fathan memotong. Tangannya memijat kepala, seperti berusaha mengusir kantuk.

Lima belas menit kemudian, aku dan Tante Sofi sudah berdiri di depan lobby restoran.

"Hana, Tante serius. Bagaimana menurutmu mengenai Fathan?"

Kugigit bibir sambil berpikir, supaya tidak salah menjawab. "Kak Fathan? Baik."

"Apa Fathan tidak sesuai dengan kriteriamu?" Matanya memeliti kedalaman hati lewat mataku.

Aku menggeleng. "Bukan seperti itu," jawabku cepat. "Hanya saja, Hana belum siap. Maaf, Tante."

Dahinya berkerut. "Kenapa, karena Ayahmu? Apa karena hubungan kami di masa lalu? Tante rasa itu bukan alasan utamanya," lanjutnya lagi, berasumsi.

"Berat bagi Hana untuk bisa menerima Kak Fathan yang belum tentu juga menyukai Hana. Lagipula, kak Fathan masih terikat pertunangan dengan seseorang, bukan?"

Tante Sofi terbelalak. Beberapa detik kemudian ia terdiam, lalu menatapku dalam. "Hana, sebenarnya--"

Caca memberi klakson setelah menepikan mobil di hadapan kami, memotong perkataan Tante Sofi.

"Tante, masih mau ngobrol? Itu mobil Kak Fathan sudah menunggu di depan."

Aku melihat mobil Fathan sudah bersiap di pintu keluar. Mobil Ayah juga sudah ikut mengantri di belakang Caca untuk menjemputku.

"Kita lanjutkan nanti, ya?"

Aku mengangguk dengan sedikit ragu.

--bersambung--

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Where stories live. Discover now