Bab 25 | 2

4.2K 427 9
                                    

Ayah lebih banyak diam saat kami dalam perjalanan pulang. Sesekali ia menjawab pertanyaanku, walau hanya dijawab dengan pendek-pendek.

Lama-lama situasinya berubah menjadi canggung. Lalu kuarahkan pandangan pada jalanan yang mulai basah karena gerimis, berharap bisa mengalihkan pikiran. Namun, alasan kenapa Ayah kembali murung masih saja mengusikku.

Apa Ayah marah?

Selama makan malam tadi Ayah terlihat baik-baik saja, bahkan matanya berbinar saat membicarakan masa lalu bersama tiga temannya. Walau bukan semua kenangan baik yang terkenang--terlebih saat menyangkut kematian Ibu, tapi setidaknya Ayah menikmati pertemuannya hari ini. Jadi, kenapa tiba-tiba Ayah kembali diam?

Apakah Ayah mulai berubah setelah membahas perjodohan?

"Hana serius ingin mencari jodoh untuk Ayah?" Akhirnya Ayah membuka suara setelah lama kami terdiam.

"Maafkan Hana," jawabku sambil menoleh Ayah yang masih fokus pada jalanan di depan. "Hana pikir itu yang terbaik untuk Ayah."

Tadinya, kupikir ide mencarikan jodoh untuk Ayah itu adalah yang terbaik. Lalu menjodohkan Ayah dengan Tante Sofi adalah salah satu pilihan terbaiknya. Namun, kenyataan tidak berkata demikian. Jika saja kulanjutkan rencana perjodohan, mungkin Tante Sofi hanya akan menambah lebar luka Ayah selama ini, bukan?

Bayangan yang ada dalam pikiranku kemudian adalah, setelah kehilangan Ibu, bagaimana perasaan Ayah jika akhirnya harus dua kali ditinggalkan oleh wanita yang sama?

"Kenapa?" Ayah membuyarkan lamunanku. "Kenapa Hana berpikir jika Ayah menikah lagi itu yang terbaik?"

Ayah menyalakan wiper kaca mobil. Hujan di luar semakin deras.

"Hana hanya khawatir jika nanti Ayah kesepian. Kalau Hana menikah lalu pindah rumah, nanti Ayah akan sendirian. Apalagi teh Naura juga jauh, biasanya hanya pulang dua bulan sekali. Siapa yang akan merawat Ayah kalau terjadi apa-apa selama kami tidak ada?"

Jujur saja, membiarkan Ayah hidup sendirian adalah kemungkinan yang paling kutakutkan selama ini. Bersyukur jika nantinya calon suamiku bersedia tinggal bersama Ayah. Namun, bagaiamana kalau tidak?

"Hana," Ayah menolehku sebentar lalu matanya kembali menatap ke depan, "tidak perlu memikirkan Ayah. Ayah bisa mengurus diri sendiri."

Aku diam tidak menjawab.

"Sekarang usiamu sudah menginjak tiga puluh, sudah seharusnya memikirkan masa depan. Membina rumah tangga dan memiliki anak. Apa sudah ada calon lain makanya menolak Fathan dan hanya beralasan karena Ayah?"

Aku menggelang. "Bukan. Memang tidak ada teman laki-laki yang sedang dekat dengan Hana, seperti yang Hana katakan waktu itu."

Beberapa hari lalu, Ayah bertemu Andre bersama istri dan anaknya di bandara. Ayah kemudian menanyaiku apakah hubungan kami selama ini baik-baik saja. Sebab, Andre seolah tidak mengenal Ayah saat berpapasan. Atau mungkin sengaja pura-pura tidak kenal. Pertanyaan Ayah pun berlanjut pada apakah ada laki-laki yang sedang dekat denganku.

"Lalu? Apa memang ada urusan yang menghalangimu untuk segera menikah?"

Aku kembali menggeleng. "Tidak."

"Jadi karena Hana tidak menyukai Fathan? Ayah kira kalian sudah cukup dekat selama ini. Bahkan Hana sudah beberapa kali diantar dengan mobilnya, kan?"

"Itu karena Tante Sofi yang minta," sangkalku. Memang kenyataannya Fathan hanya mengantar-jemput atas inisiatif Tante Sofi.

Untuk beberapa saat kami kembali diam.

"Jadi," Ayah sengaja menjeda kalimatnya. "Hana mau menikah kalau Ayah sudah tidak sendirian?"

Aku menatap lama wajah Ayah, lalu mengangguk.

"Hana mau Ayah menikah lagi?"

Apa Ayah sungguh-sungguh atau hanya sekadar menguji?

Kepalaku akhirnya mengangguk. Ya, Hana ingin Ayah menikah jika itu cara untuk Ayah kembali bahagia.

"Hana sudah punya calon yang ingin dijodohkan dengan Ayah? Siapa?"

Tubuhku terhenyak saat mendengar Ayah melontarkan pertanyaan itu. Sebab, aku sudah mencoret satu-satunya nama yang kupilih. Tante Sofi.

--bersambung--

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Where stories live. Discover now