Bab 11 | 2

4.3K 362 2
                                    

Keesokan harinya, Ibu sudah memiliki jawaban. Rio mendesak Ibu untuk memberikan alasan.

"Apa sebenarnya ada orang lain yang kamu sukai?"

Aku tidak berani menjawab pertanyaan Rio, bahkan untuk sekedar menatap matanya. Rio terlalu baik bagiku, aku tidak ingin membohonginya lagi.

"Apakah itu Ilham? Orang yang mengaku sahabatmu?"

Aku tercekat. 

Rio mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berguman. "Kamu tidak membantah, berarti jawabanmu'iya'. Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi." Rio terlihat kecewa. Senyum manis yang selalu menghias wajahnya seketika hilang. Aku memang tidak punya hak untuk memaksanya bisa menerima keputusan dengan lapang.

Rio pantas untuk kecewa kepadaku.

"Maaf," kataku berulang kali. Perasaan paling jujur yang pernah kumiliki untuknya hanya bisa diwakili oleh satu kata itu. Aku benar-benar menyesal.

"Sebaiknya kamu utarakan perasaanmu dengan baik kepadanya. Jika tidak, selamanya kamu hanya akan menunggu." Itulah pesan terakhir Rio sebelum pulang.

Semenjak itu, aku berharap tidak pernah bertemu dengannya lagi.

***

Minggu, 2 Desember 1984

Harus kuakui, setelah pekan lalu menolak Rio, perasaanku semakin tidak menentu. Ada perasaan bersalah, lega, sekaligus menyesal. 

Beruntung seminggu ini pekerjaanku sedang banyak-banyaknya, hingga sering pulang menjelang malam. Walau capek, aku tidak perlu menghindar supaya tidak berpapasan dengan Rio saat jam pulang kantor.

Selama sepekan ini pula aku kehilangan kontak dengan Ilham.

Ngomong-ngomong soal Ilham, aku baru sadar kalau telah dibodohinya bulat-bulat. Ilham pernah bilang mantan Rio banyak. Kenyataannya? Rio baru dua kali berpacaran seumur hidupnya. Amel, adik kelas Rio, memberitahuku saat tahu bahwa kami putus.

Tapi, bukan itu juga alasan utamaku menolak lamarannya. Hatiku memang tidak bisa menerima Rio, bagaimanapun aku berusaha untuk menerimanya.

Tidak lama kemudian, telepon rumah berdering. Ilham yang menelepon.

"Kamu puas sekarang? Mungkin sebentar lagi aku benar-benar akan menjadi perawan tua," semburku. Tentu hanya bercanda.

Ilham terkekeh. "Hei, usiamu masih belum terlalu tua untuk dikatakan perawan tua." Tawanya terdengar sakit di telinga.

"Aku mau balikan sama Rio aja," lanjutku, masih bercanda.

Ilham menghentikan tawanya. "Kenapa?"

"Karena aku belum bisa menemukan laki-laki yang lebih baik."

Ilham menghembuskan napasnya, seperti menahan kesal. "Zahra, kamu pikir hari ini putus besoknya bakal langsung dapat pacar baru?"

"Jadi, gimana kalau sampai usiaku tiga puluh belum ada laki-laki yang datang melamar?"

"Tunggu lagi sampai empat puluh tahun."

"Kalau belum ada yang datang juga?"

"Ya sudah, kita habiskan masa tua bersama."

"Harus menunggu selama itu? Aku tidak mau jadi wanita tua yang hanya mengurus anak-anak dan cucu-cucu dari istrimu."

Ilham diam. 

Ayolah, sampai kapan harus kuberikan kode-kode semacam itu? Jika sudah tahu Ilham benar-benar tidak pernah memiliki perasaan apapun selain menganggapku sahabatnya, aku akan menyerah untuk mengejarnya. Dengan sukarela.

Aku menarik napas dalam. Dadaku tiba-tiba terasa sakit. Haruskah kuakhiri semuanya sekarang? Bagaimana kalau Ilham membenciku? Tapi jika tidak kuutarakan sekarang, seperti kata Rio, aku hanya akan menunggunya. Mungkin seumur hidupku.

"Zahra, kenapa?"

"Ilham, apa kamu tahu selama ini aku menyukaimu?" Aku menangis saat mengatakannya. Ingin segera kuralat, tapi rasanya terlalu lelah untuk terus kusembunyikan

"Zahra?"

"Aku tahu kalau selama ini kamu hanya menganggapku sebagai sahabat, tidak lebih." Aku terisak sambil menahan air mata. "Aku juga tidak memaksamu untuk menerima cintaku. Aku hanya ... aku hanya ingin kamu tahu." Aku tergugu. Ilham diam tidak menyela.

Setelah mengatur napas, kulanjutkan perkataanku. "Setelah ini, mari kita lupakan semuanya. Mari kita kembali ke jalan hidup kita masing-masing. Mari kita saling melepaskan. Mari kita saling melupakan. Aku tidak bisa lagi menjadi sahabatmu." 

Air mataku tidak mau berhenti, malah semakin menjadi. Tidak ada lagi yang bisa kusampaikan, semuanya seperti tersangkut di tenggorokan. Buru-buru saja kututup sambungan, berlari menuju kamar.

Aku menangis sepuasnya di dalam kamar. Entah berapa kali ibu mengetuk pintu kamar, mengatakan ada telepon dari Ilham. Aku tidak mau beranjak untuk membuka kunci pintu.

Aku ingin menghabiskan air mataku hari ini, untuk cinta yang bertepuk sebelah tangan selama tujuh tahun!

--bersambung--

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang