Bab 30 | 2

8.8K 599 124
                                    

Seketika saja kepalaku tidak bisa berpikir dengan jernih saat harus memilih antara menemui tamu, berganti baju, atau pergi mandi terlebih dahulu. Namun, puncak kebingunganku ternyata pada saat memilih baju. Seperti menemukan pilihan berganda yang lebih rumit daripada soal pilihan berganda tes CPNS dulu. Dua kali sudah aku berganti dan mematut diri di depan cermin, hingga akhirnya memutuskan gamis merah bata dan kerudung persegi abu terang yang kukenakan.

Aku beranjak ke ruang tamu sambil membawakan minuman.

"Assalamu'alaikum. Tante sehat? Maaf tadi Hana masih di dapur."

Aku menyalami wanita yang terlihat lebih kurus dari sebelumnya itu dengan takzim. Tante Sofi lalu mengeratkan pelukannya.

"Tante kangen Hana. Hana sehat?"

Aku mengangguk, lalu tanpa sengaja ekor mataku menangkap Fathan sedang menatap ke arahku.

"Alhamdulillah, Hana sehat," jawabku sambil melepaskan pelukan.

Dengan canggung, kusapa Fathan yang berdiri di samping Tante Sofi dengan menangkupkan kedua tangan di depan dada, tanpa sepatah kata pun yang terucap. Hanya senyum yang bisa kuwakilkan.

Fathan membalas dengan hal serupa dan seulas senyum manis yang membuatku seperti tengah berada di taman bunga.

Tante Sofi dan Fathan kembali duduk, sedangkan tempatku tentu saja di samping Ayah.

Melihat senyum Ayah yang tidak lepas dari bibirnya saat berbicara dengan Tante Sofi, kesadaranku mulai kembali.

Apakah tamu istimewa yang ditunggu Ayah adalah Tante Sofi? Jika benar, itu artinya Fathan adalah calon kakak tiriku?

"Hana, Tante cuma bawa sedikit oleh-oleh." Tante Sofi memutus lamunanku. Sebuah kantong belanja berisi banyak cokelat disodorkannya kepadaku. "Waktu di Bandara lihat cokelat, tiba-tiba Tante ingat kamu." Senyumnya kembali mengembang.

"Padahal nggak perlu repot-repot. Tante ke sana bukan untuk jalan-jalan, tapi mau berobat. Tadi Hana sempat ikut dengar dari dapur, kalau proses penyembuhannya berhasil dan sel kankernya sudah bisa diangkat, ya? Alhamdulillah. Hana turut senang."

"Alhamdulillah. Makanya Tante segera pulang, karena sudah nggak betah pengen jalan-jalan."

Kami terkekeh, sementara laki-laki di ekor mataku hanya diam.

"Eh, Fathan juga punya oleh-oleh buat Hana. Iya kan?" Tante Sofi menoleh pada putra semata wayangnya.

"Eh, itu nanti saja, Bun," jawab Fathan ragu, tapi segera mendapat tatapan dari bundanya.

"Bukannya kangen? Sampai bela-belain tiap minggu pulang pakai alasan mau ngecek kafe, lah." Tante Sofi terkekeh melihat tingkah putranya.

"Apa sih, Bun? Nggak usah bikin gosip." Fathan mengelak tapi rona di pipinya tidak bisa berbohong.

"Jadi yang Hana lihat waktu itu ... memang mobil Kak Fathan?" Tuduhku, menghubungkan.

"Kapan?"

"Tuh, kan." Tante Sofi seperti mendapat bukti yang menguatkan tuduhannya.

"Apa kita cek bareng-bareng sekarang rekaman CCTV-nya di pos security?" Aku sudah bangkit, tapi tangan Ayah mencegah sambil menahan tawa.

"Ternyata benar kata Caca. Fathan sama Hana tuh kalau dekat malah bertengkar, tapi kalau jauh saling rindu."

Ayah terkekeh, kecuali aku dan Fathan yang menunduk karena malu.

Tante Sofi menyikut putranya dan memberi kode. Tidak lama kemudian Fathan mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celana.

"Hana, kamu masih marah?"

Aku menggeleng.

"Saya mau minta maaf atas sikap saya selama ini," ujarnya lagi. "Saya harap kamu mau menerima ini sebagai permintaan maaf."

Aku terperanjat ketika Fathan tiba-tiba sudah berada di hadapan sembari menyodorkan sebuah kotak dengan logo perhiasan ternama.

"Apa ini?" Aku menerimanya dengan tangan sedikit bergetar.

"Lihat saja!" sarannya, masih tidak bergerak dari tempatnya berdiri.

Pelan-pelan kubuka penutupnya sambil menahan napas. Mataku langsung melebar saat sepasang cincin dengan ukuran berbeda tersingkap dari baliknya.

"Apa maksudnya?" Aku menatap Fathan dengan bingung, lalu turun pada jemarinya yang sudah polos.

"Hana, kamu bersedia memakai cincin yang sama denganku?"

Dahiku mengernyit. "Maksudnya?"

Fathan menghela napas. "Maksudku, maukah kamu menemaniku menghabiskan masa tua bersama?" Mata cokelatnya kembali membuatku mematung. Senyumnya seolah menusukku hingga ke tulang.

Aku memejamkan mata sejenak, memastikan bahwa ini bukanlah mimpi.

Kutatap Ayah yang menganggukkan kepala. Tante Sofi pun tak henti mengulas senyum ke arahku.

Aku ganti menatap Fathan yang sudah bersimpuh, hingga mata kami sejajar. Sebuah anggukan kecil dari kepalaku membuat senyumnya semakin mengembang.

"Bismillah-hirrohman-nirrohim," ucapku sedikit terbata. "Hana bersedia menghabiskan masa tua bersama Kak Fathan, dalam suka dan duka." Pipiku bersemu.

"Alhamdulillah," syukur Ayah dan Tante Sofi bersamaan.

Tante Sofi mengambil kotak itu dari tanganku dan meletakkannya di atas meja, lantas menyematkan cincin platinum dengan batu permata di atasnya ke jari manisku. Ayah pun mengambil cincin serupa dalam kotak yang sama, lalu memasangkannya pada jari Fathan.

"Alhamdulillah, Hana sudah sah jadi calon istri Fathan sekarang. Jadi kapan akan kita resmikan?" Tanya Tante Sofi setelah kembali duduk.

"Bagaimana kalau malam ini?"

Aku terbatuk dan menjawil lengan Ayah.

Ini yang ngebet pengen nikah sebenarnya siapa?

"Minggu depan?" tanya Tante Sofi sambil memandangku. "Bagaimana? Lebih cepat akan lebih baik, kan? Kita adakan akad nikah saja dulu, mengundang seluruh keluarga besar. Bulan depan baru resepsi mengundang semua kerabat."

"Jika sudah ada dua pemuda yang siap untuk menikah, memang seharusnya disegerakan, bukan? Saya sepakat jika akadnya minggu depan. Bagaimana dengan Hana dan Fathan?"

Aku tidak menjawab, lalu melemparkan pertanyaan itu pada Fathan dengan lirikan.

"Fathan insya Allah siap kapan saja, Om. Mau sekarang juga Fathan siap."

Mataku seketika melotot ke arahnya, saking gemas.

"Kalau begitu, kita sepakati minggu depan saja, ya. Hari minggu pagi di rumah kami. Ajak semua keluarga besar, supaya acaranya lebih berkah karena banyak yang turut mendokan kebaikan."

Tante Sofi dan Fathan mengangguk. Aku diam-diam mengangguk dengan senyum dan pandangan yang tidak lepas dari jari manisku.

--Tamat--
🌸🌸🌸

Terima kasih pada semua pihak, yang telah mendukung selesainya tulisan ini, khususnya bagi para pembaca setia yang tidak pernah absen memberikan vote dan komentarnya. 😍😍😍

Syukur tidak terkira, akhirnya JODOH PASTI KEMBALI menjadi work pertama yang bisa tamat di platform ini.

Sampai bertemu kembali di tulisan lainnya, ya. 🤩🤩🤩

Salam
Niknik Nuraeni

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Место, где живут истории. Откройте их для себя