Bab 15

4.2K 377 10
                                    

Satu pekan terlewati, tapi yang ditunggu tidak juga kunjung datang. Mungkin harapanku saja yang terlalu tinggi, berharap akan segera dihubungi.

Oh, mungkin dia sibuk! Mungkin dia belum menerimanya. Mungkin dia belum sempat membuka. Dan segala kemungkinan lain kumunculkan dalam kepala.

Atau, bisa jadi dia tidak pernah berniat menghubungi smaa sekali!

Aku hanya bisa pasrah dan berharap tidak menitipkan barang itu pada orang yang salah. Semoga apa yang ingin Ibu kembalikan bisa sampai pada orang yang seharusnya menerima.

Sebaiknya segera kulupakan saja perkara titipan itu sebelum urusan lain menjadi kacau gara-gara terlalu memikirkannya. Ada hal yang jauh lebih penting yang saat ini harus kulakukan, seperti memeriksa hasil ujian mahasiswa atau menemani sarapan Ayah.

"Proyek Ayah sudah selesai?" Aku mencoba mengawali pembicaraan.

Sebulan terakhir ini Ayah sudah mulai beraktivitas dengan normal, walau sesekali masih terlihat melamun dengan mata berkaca. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Setidaknya sudah menunjukkan kemajuan.

"Proyeknya masih berjalan, lima puluh persen, tapi tugas Ayah sudah hampir delapan puluh persennya."

Kuiyakan saja walau tidak terlalu mengerti dengan istilah-istilah yang diceritakannya kemudian. Aku hanya sedang ingin mengobrol dengan Ayah.

Ponselku berdering. Sebuah nomor tidak dikenal masuk. Aku mengangkatnya dengan sedikit gugup. Rupanya telepon dari bu Santi, seorang staf administrasi jurusan, dengan nomor barunya.

Sejujurnya, aku sedikit kecewa.

"Sedang menunggu telepon lain dari seseorang?"

Aku sedikit terperanjat mendengar pertanyaan Ayah setelah panggilan itu berakhir dan kembali ke meja makan untuk melanjutkan sarapan.

"Eh, iya. Kok Ayah bisa tahu?"

"Dari tadi menengokin HP terus," jawab Ayah.

Aku hanya bisa nyengir.

"Oh, iya. Ayah pernah berkomunikasi lagi dengan teman-teman lama Ayah? Semisal teman SMA."

Ayah mengerutkan dahi, kemudian menggeleng.

"Kayaknya sudah lama."

"Nggak ada reunian, gitu?"

"Untuk apa?" Ayah menatapku.

"Ya ... menyambungkan silaturahim. Kan bisa kangen-kangenan. Memangnya nggak pernah ada yang berinisiatif membuat reunian?"

"Kayaknya ada, tapi Ayah tidak tertarik."

Panggilan dari nomor tidak dikenal kembali masuk. Aku refleks mengangkatnya, karena bu Santi tadi bilang akan menghubungiku lagi setelah menemukan data mahasiswa yang sedang dicarinya.

"Ya, bu Santi?"

"Assalamu'alaikum. Maaf, nama saya Fathan." Sebuah suara bass yang asing di telinga berhasil membuatku tersedak.

Oh rupanya orang itu!

Aku terbatuk dan tidak bisa menjawabnya. Ayah menyodorkan air minum dan segera kutenggak.

"Apa saya mengganggu? Kalau begitu akan saya hubungi lewat Whatsapp."

Fathan memutus sambungan sebelum sempat kujawab sepatah katapun.

"Siapa?" Ayah penasaran melihat reaksiku. "Teman dosen?"

"Bukan," jawabku setelah batuk mereda.

"Teman lama?"

"Bukan. Kenalan baru."

Ayah menautkan kedua alisnya di tengah. Agak aneh mungkin jika mendengar anak gadisnya memiliki kenalan baru, laki-laki pula.

"Pacar?"

Aku kembali terbatuk. Ayah menyuruhku kembali minum dan tidak berusaha bertanya lebih jauh lagi.

Ketika hendak kujawab pertanyaan Ayah, sebuah pesan masuk.

[Maaf, saya mendapat nomor Anda dari kartu nama beserta sebuah kotak marun. Apakah Anda mengenal ibu saya?]

Aku langsung menyimpan nomornya dengan nama 'Fathannya tante Sofi' supaya tidak salah memanggil lagi. Segera kujawab pesannya.

Hana: Ya, maaf juga untuk yang tadi. Nama saya Hana. Mungkin tante Sofi tidak mengenal saya, tapi saya mengenalnya dari ibu saya.

Terkirim dan dibaca.

Fathan: Nanti saya sampaikan titipannya, tapi mungkin lusa. Saya masih di Surabaya.

Hana: Oh, baik. Tidak masalah. Terima kasih.

Fathan tidak membalas. Padahal sudah centang dua biru, statusnya juga masih online.

Aku meletakkan ponsel di samping. Rupanya Ayah memperhatikan gerak-gerikku.

Mungkin aku harus menceritakannya sekarang.

"Yang barusan menghubungi itu Kak Fathan, putranya tante Sofi."

Ayah masih menanggapiku dengan biasa.

"Ayah masih ingat tante Sofi, kan? Tante Sofi yang itu, teman lama Ayah dan Ibu. Pekan lalu aku menitipkan majalah yang tempo hari kutemukan di meja rias Ibu, yang pernah kuceritakan, kepada karyawan anaknya di Malang. Barusan anaknya menghubungiku."

"Sofi?" Ayah terlihat kaget.

Aku mengangguk.

--bersambung--

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang