Bab 5

5K 393 2
                                    

"Kamu lagi ngapain sih dari tadi? Serius banget." Salma menyenggol lenganku. "Itu makananmu sampai dingin, dari tadi belum disentuh sama sekali." Ia menunjuk nasi ayam geprek yang kupesan, dengan matanya.

"Oh iya," jawabku sambil menarik piring itu mendekat, lalu menyomot irisan timun di atasnya.

Namun, tak lama kemudian tanganku kembali sibuk mengetik sesuatu dalam kolom pencarian sebuah media sosial. Mengetik, menelusurinya, menghapus, lalu mengetik lagi kata yang baru, menelusurinya, kemudian menghapusnya lagi. Begitu terus  semenjak kami duduk di kantin ini.

"Ketemu!" Teriakku yang berhasil membuat tubuhnya melonjak, refleks memukul meja.

"Astagfirullah!" Seru Salma sambil mengusap dadanya. "Apaan sih?" Tangannya secepat kilat meraih tanganku dan melihat isi di layar ponselku.

"Hah, jadi ... hanya gara-gara nemu grup alumni SMA di Facebook tadi kamu teriak? Kirain nemu undangan dari presiden untuk makan malam di istana." Ia mendongak, menatapku penuh tanya.

"Iya," jawabku datar sambil menyendokkan nasi ke dalam mulut. Mataku belum lepas dari layar pipih itu setelah menekan tombol tambah; permintaan untuk bergabung dengan grup. Berharap admin segera mengonfirmasinya.

Salma memperbaiki lagi posisi duduknya. "Bukannya sudah ada grup alumni SMA di Whatsapp?" tanyanya lagi sambil ikut menyendok sambal geprekku.

"Ini grup alumni SMA ayah."

Tiba-tiba ia tersedak mendengar jawaban itu.

Kugeser botol air mineral miliknya. "Minum dulu!"

Ia menurut. Setelah napasnya kembali teratur, matanya malah melotot ke arahku. "Buat apa? Nyari calon mertua lagi?"

Aku terkekeh melihat ekspresinya.

"Na," Salma merubah intonasi suaranya. Lebih terkesan berhati-hati. "Akhir-akhir ini kamu terlihat aneh. Kenapa? Ada sesuatu yang mengganggumu?" Salma menatapku dalam-dalam, seperti hendak menguliti isi pikiranku.

Tawaku seketika lenyap, berganti mendung yang siap menumpahkan hujan. Aku kembali menghela napas berat.

"Entahlah, aku juga tidak tahu apa yang sedang kulakukan."

Kedua mata bulat itu kembali menatapku, penuh simpati.

"Tentang ayah?"

Kepalaku mengangguk. "Entah mengapa aku begitu ingin mencarikan ayah seorang pasangan, setidaknya untuk menemani masa tuanya. Ayah terlihat sangat kesepian, sekalipun sedang mengobrol denganku. Tatapannya begitu kosong, tidak sehangat dulu."

"Jadi, kamu sedang mencari calon ibu tiri, bukan calon ibu mertua?"

Entah mengapa, pertanyaan itu terdengar menggelikan di telingaku.

"Tapi aku sudah berubah pikiran. Rasanya belum rela menggantikan posisi ibu dengan wanita lain."

Salma menepuk bahuku pelan.

"Tentu posisi almarhumah ibu di hati ayah dan anak-anaknya tidak akan pernah tergantikan. Ia menempati bilik khusus di sana. Kalaupun ada wanita lain yang akhirnya menjadi istri ayahmu, ia bukan menempati bilik ibumu. Ia hanya akan menempati bilik lainnya. Kamu mengerti maksudku?"

Aku kembali mengangguk, mengerti apa yang ia jelaskan. Akan tetapi, pada kenyataannya praktik tidaklah selalu semudah teori.

Salma kemudian menepuk-nepuk bahuku dengan lebih keras. "Lalu hubungannya dengan grup alumni itu?"

"Aku hanya ingin mencari seseorang," jawabku kemudian. "Untuk mengembalikan sesuatu yang ingin almarhumah kembalikan."

Salma tampak berpikir keras. "Maksudmu, teman ayahmu?"

"Ya, teman ibuku juga. Walau belum tahu mereka dulu saling mengenal di mana. Oleh karena itu, aku mulai mencarinya dari grup alumni sekolah."

"Kenapa tidak langsung bertanya kepada ayah saja?"

Ya, Salma benar. Seharusnya aku langsung bertanya saja kepada ayah.

Seharusnya aku juga memberitahu ayah telah menemukan bungkusan berisi majalah di bawah meja rias ibu dan meminta ayah untuk segera mengembalikannya. Seharusnya waktu itu aku bertanya kenapa mereka bertiga ada dalam foto dan apa hubungan di antara mereka.

Namun, setelah melihat reaksi ayah saat kutanyakan siapa tante Sofi, aku seperti kehilangan cara untuk bertanya lebih jauh lagi.

Aku melihat ayah semakin terluka.

--bersambung--

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Where stories live. Discover now