Bab 3 | 2

5.3K 439 4
                                    

Perasaan yang menjalar itu masih bersarang dalam hati. Yang tidak kumengerti, aku bahkan belum pernah bertemu ataupun mendengar kisahnya. Namun, perasaan--yang bisa kukatakan--semacam nyeri, entah mengapa tiba-tiba membekas di sana.

Apakah ini semacam isyarat bahwa harus kuakhiri saja misi pencarian pasangan untuk ayah? Melihat ayah berdampingan dengan wanita lain--bukan dengan ibu--dalam foto saja sudah membuat hatiku terkikis.

Ternyata, sikap merelakan itu membutuhkan semacam sinergi antara mulut, otak, dan hati. Jika ada salah satunya saja yang mengingkari, dapat menciptakan sebuah penolakan secara spontan dari bagian tubuh lainnya.

Ya, aku mungkin belum sepenuhnya merelakan ayah bisa bahagia dengan wanita lain, selain ibu.

Kutarik napas kuat-kuat, menghalau kegundahan yang membuat dadaku semakin berat. Aku harus bisa bersikap lebih dewasa, dimana tidak lagi mengedepankan ego.

"Belum berangkat ke kampus, Neng?"

Tubuhku sedikit melonjak, kaget. Mak Sani sudah berdiri tepat di hadapan dan menatapku heran.

"Eh, iya, Mak."

Aku kelabakan mendapati jarum jam yang sudah bergeser jauh dari sebelumnya, saat kumasuki kamar ayah. Rambut yang belum sempat kukeringkan pun sudah mulai mengering dengan sendirinya.

Gegas kutuju kamar, menyalakan hair dryer dengan kecepatan tinggi. Menguapkan molekul-molekul air yang masih tersisa pada beberapa bagian rambut, sebelum menutupnya dengan kain kerudung yang sudah kusiapkan di atas kasur.

"Hana berangkat dulu, ya, Mak. Assalamu-"

Tanganku hendak menyalami tangan Mak Sani, tapi buru-buru ia beranjak ke dapur seperti teringat sesuatu.

"Sarapannya dibekal saja ya, Neng. Biar tidak sakit lambungnya. Mak lihat Neng Hana belum sempat sarapan dari tadi."

Aku mengangguk dan menerima kotak bekal yang telah dimasukkannya ke dalam tas kecil berbahan kain termal.

"Terima kasih, Mak. Assalamu'alaikum." Aku sedikit berlari setelah meraih kunci menju motor. Tak ingin terlambat datang ke kampus.

***

"Kamu ikut Seminar Nasional di Malang bulan depan itu, Na?" Salma membolak-balik paper yang semalam telah dicetaknya untuk mengecek kembali supaya tidak ada salah cetak, sambil bergantian menatapku dan tuliannya.

"Belum tahu, belum dapat surat tugasnya."

"Ajukan saja, Na. Sayang kalau dilewatkan, karena prosiding seminarnya akan dipublikasikan di jurnal terindeks Scopus, katanya. Semacam kerja sama dengan kampus penyelenggara."

"Kamu ikut?"

Aku meliriknya. Sebuah lengkung aneh di mulutnya membuat wajah itu terlihat lucu.

"Bentrok dengan jadwal study tour yang jadi tanggung jawabku. Kayaknya waktunya berbarengan."

"Itu namanya belum rezeki," timpalku. "Mungkin rezekimu nanti bertemu dengan dosen ganteng dari kampus lain."

Salma melemparkan pulpen yang mengenai lenganku. Aku hanya terkekeh melihat wajahnya semakin tertekuk.

"Eh sebentar," kataku sambil meraih ponsel yang bergetar. "Ada telpon dari tante Puji."

Salma memberikan kode dengan tangannya, mempersilahkanku menerima panggilan.

Tante Puji adalah adik almarhumah ibu yang tinggal di Bandung. Sesekali beliau dan keluarganya mengunjungi kami di Jakarta.

"Hana, minggu depan Om Agus ada rapat di Jakarta. Tante mau sekalian ikut, mungkin akan ikut menginap di rumah, ya," jelasnya setelah ia menjawab salamku dan menanyakan kabar.

"Oh iya, Tante. Ayah pasti senang ada tante dan om Agus menginap. Naura juga ikut?"

"Naura nggak bisa ikut, katanya ada ujian di sekolahny."

"Iya, Tante. Nanti Hana sampaikan ke ayah. Oh iya, Tante ...." Aku diam sejenak, menimbang apakah perlu menanyakannya sekarang atau tidak.

"Ya?" Tante Puji menunggu.

"Hm, Tante kenal dengan teman ibu yang bernama tante Sofi?"

Aku diam menahan napas, menunggu jawaban. Usia tante Puji dan ibu hanya terpaut 2 tahun. Mungkin tante Puji tahu teman-teman ibu semasa sekolah atau kuliah.

"Sofi? Sepertinya tante tidak kenal. Kenapa?"

"Nggak kenapa-kenapa sih. Hanya saja, tadi Hana menemukan sebuah foto lama ibu dengan seseorang bernama Sofi."

"Oh iya, mungkin tante tidak kenal ya, atau memang tante ... lupa."

Aku menangkap sebuah keraguan dari suaranya saat mengatakan kata 'lupa'.

--bersambung--

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Where stories live. Discover now