Bab 13

4.1K 376 8
                                    

Apa yang Ibu rasakan kemudian adalah kebahagiaan yang semu. Meski laki-laki yang akan menikahinya adalah orang yang ia cintai, tapi perasaannya tetap mengatakan bahwa dirinya tidak diinginkan oleh Ayah, setidaknya sebagai seorang istri. Ayah masih memperlakukan Ibu sebagai sahabat, bukan wanita yang akan menghabiskan masa tua bersama.

Ibu sadar diri, posisinya belum bisa disejajarkan dengan Sofi. Mungkin karena sifat keduanya yang jauh berbeda. Ibu bukan tipe wanita idaman Ayah, begitu yang selalu ada dalam benaknya.

Membatalkan pernikahan?

Ternyata Ibu sempat mengutarakan itu kepada Ayah sebulan sebelumnya. Ia tidak ingin rumah tangganya dibangun tanpa cinta. Namun Ayah menolak, katanya bukan keputusan yang tepat. Bukan semata persiapan pernikahan yang sudah tujuh puluh persen, tapi karena tidak ingin mengecewakan kedua keluarga besar.

"Bukankah kita sudah saling merasa nyaman selama tujuh tahun belakangan ini? Apakah itu bukan bukti kalau kita saling membutuhkan dan bisa saling mengisi? Dari mana kamu tahu bahwa aku tidak mencintaimu?"

Itu yang dikatakan Ayah sehingga Ibu tidak bisa lagi mencari alasan untuk mengakhirinya. Lagipula, bukankah ada pepatah yang mengatakan bahwa cinta itu bukan tumbuh, melainkan ditumbuhkan? Ibu berharap jika kelak Ayah akan benar-benar mencintainya, bukan semata rasa takut kehilangan. Ia akan berusaha sekuat tenaga untuk menumbuhkan cinta di hati suaminya kelak.

Setelah akad diucapkan, entah mengapa air mata Ibu tidak bisa berhenti mengalir. Tante Puji--adik Ibu--yang menemaninya di kamar dibuatnya kebingungan. Orang yang melihatnya pun bisa beranggapan bahwa pernikahan itu adalah perjodohan. Ibu menikah karena paksaan.

Namun hebatnya, setelah mempelai perempuan diminta keluar untuk menandatangi surat nikah, yang Ibu tampakkan adalah kebahagiaan di wajahnya. Tanpa kesedihan yang menggelayuti hati beberapa hari terakhir. Ia tidak ingin menodai hari bersejarahnya. Ibu ingin menjadi pengantin yang bahagia.

Ibu banyak belajar bagaimana menjadi istri yang baik, termasuk belajar memasak. Terutama masakan kesukaan Ayah.

Lima bulan berselang, Ibu hamil. Ayah mulai hangat dan lebih perhatian dari sebelumnya. Ibu lalu memutuskan untuk keluar dari pekerjaan, supaya bisa fokus mengurus keluarga. Ayah setuju.

Perhatian Ibu tercurah pada putri pertama yang dilahirkannya, teh Naura, sehingga jarang bisa menulis buku harian lagi setelah itu. Hanya sesekali saat butuh penyaluran rasa yang tak bisa disimpannya dalam hati. Sesekali, ibu menyalurkannya lewat hobi lain, seperti berkebun.

Ibu sudah banyak berubah. Wanita yang dulunya dikenal tomboi ternyata berubah menjadi seorang ibu lembut dan penyabar. Ibu tidak pernah berkata kasar kepada teh Naura, seberapa marah dan kesalnya ia.

Saat usia teh Naura dua tahun, Ibu menyadari bahwa ada janin dalam rahimnya. Ibu mengandungku.

Ibu juga merasa bahwa Ayah sudah berubah. Ada binar cinta setiap Ibu menatap matanya.

Suatu hari datang kabar Ayah dipindahtugaskan ke kantor pusat di Jakarta. Dalam keadaan hamil, Ibu memutuskan untuk ikut pindah, sehingga sempat mengalami pendarahan dan mengira akan keguguran. Bersyukur hal itu tidak berlangsung lama dan hanya diminta untuk bedrest.

Saat usia kandungannya berumur delapan bulan, Ibu meminta Ayah untuk mengantar membeli keperluan bayi. Dalam perjalanan pulang itulah mereka bertemu dengan seseorang yang lama tidak ditemuinya, Sofi.

Sofi masih terlihat cantik, apalagi dengan tampilan barunya dalam balutan hijab rapi. Malah, Sofi terlihat lebih cantik dan anggun dari sebelumnya.

Pertemuan tidak terduga itu tidak berlangsung lama. Teh Naura rewel karena mengantuk, meminta untuk cepat-cepat pulang. Namun, walau hanya sebentar, efek yang dirasakan Ibu rupaya bertahan cukup lama.

Ibu melihat tatapan Ayah untuk Sofi tidak berubah!

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Where stories live. Discover now