Bab 12

4.1K 356 0
                                    

Tanganku bolak-balik menghapus air mata yang masih membekas di pipi. Tentu saja bukan hal mudah bagi Ibu untuk mengakui perasaannya, walau lewat telepon. Hal yang masih dianggap tabu kala itu, tidak seperti sekarang di mana wanita bebas mengekspresikan perasaannya. Namun, bagaimana pun Ibu sudah mengambil keputusan. Ia tidak mau menunggu Ayah lebih lama, walau harus mengorbankan persahabatannya .

Setelah itu Ayah tidak lagi berusaha untuk menghubungi Ibu. Begitu pun Ibu, tidak mencari tahu kenapa Ayah tidak mencarinya.

Sebulan berselang, Ayah mendatangi rumah, tapi bukan mencari Ibu, melainkan untuk menemui kakek, ayahnya Ibu.

"Sulit untuk menemui Zahra akhir-akhir ini. Apa dia baik-baik saja, Om?"

Aku menguping di balik pintu dapur dengan hati berdebar.

"Kenapa? Apa kalian jarang bertemu?" Itu suara Ayah, terdengar khawatir.

"Iya Om, Zahra selalu menghindar."

"Kalian sedang bertengkar? Bertengkar dengan teman dekat sudah biasa, bukan?" Suara Ayah terdengar tenang lagi.

Ah, Ayah memang tidak tahu apa-apa. Hanya Ibu yang bisa menangkap bagaimana perasaanku walau aku tidak pernah mau cerita.

Atau, diam-diam Ibu telah membaca buku harianku?

Aku membayangkan kepala Ibu sedang menengok ke kanan dan ke kiri saat menuliskannya. Sungguh lucu, Ibu mencurigai Nenek. Padahal kenyataannya, Aku--putrinya--yang tanpa izin telah leluasa membaca buku harian ini.

"Jadi Ilham ke sini mau ketemu Zahra? Biar Om panggilkan."

Ilham mencegah Ayah untuk bangkit memanggilku.

Aku baru sadar kalau setiap Ilham ke rumah, selalu menyempatkan diri untuk mengobrol dengan Ayah jika aku masih di kamar atau sedang repot di dapur. Dan Ayah, selalu dengan senang hati menemani Ilham.

"Tidak, saya ke sini sengaja untuk menemui Om."

Ayah terlihat ragu. "Ada perlu dengan Om?"

Dari tempatku mengintip, aku melihat Ilham mengangguk.

"Selain saya dan Rio, teman kantor dan mantannya Zahra,"

Aku tidak suka saat Ilham menyebut bagian ini. Lagipula, ada apa sih Ilham repot-repot ke rumah hanya untuk ketemu Ayah? Mau ngerumpi?

"Apakah ada laki-laki lain yang datang mencari Zahra?" lanjut Ilham

Ayah menautkan kedua alisnya di tengah. "Seingat Om, tidak ada."

"Jadi, belum ada laki-laki yang datang untuk melamar Zahra?"

Ayah menggeleng.

Apa sih maunya Ilham ini? Hampir saja aku memutuskan keluar dari persembunyian untuk memukulnya, jika tidak segera mendengar kelanjutan kalimat Ilham.

"Kalau begitu, saya mau ajak keluarga untuk melamar Zahra. Minggu depan Om tidak ada acara?"

Kakiku melemas seketika. Bahkan antara menapak atau tidak, sepertinya tidak ada bedanya. Tubuhku hampir roboh.

Apa Ilham hanya becanda? Tapi, becanda kepada Ayah? Tidak mungkin!

"Maksudnya, Ilham mau melamar Zahra, untuk Ilham dinikahi?"

Ayah memperjelas. Mungkin Ayah juga tak kalah kagetnya denganku.

"Iya, Om."

"Kalau begitu, Om harus tanya Zahra dulu, bersedia atau tidaknya."

Sedetik kemudian, suara Ayah menggema memanggilku. Bersyukur Ibu masih belum pulang dari pengajian mingguan. Tidak ada yang akan memergoki dan menemukanku jika aku tidak keluar dari tempat persembunyian.

Ayah memanggil namaku beberapa kali, tapi masih tanpa jawaban.

"Kalau begitu, nanti saja ditanyakan kalau saya sudah pulang." Ilham mencegah lagi Ayah bangkit dari kursinya. Suaranya sedikit kikuk.

"Oh, baik. Kalau begitu, nanti malam Ilham telepon saja ke sini. Nanti Om kabarkan kalau susah ada jawaban dari Zahra."

Setelah mengutarakan maksud kedatangannya, tak lama Ilham pulang.

Aku? Aku masih meringkuk di balik pintu dapur sambil memeluk lutut. Antara percaya dan tidak.

Ilham melamarku? Apa ini hanya mimpi?

Aku mencubit pipi dan kaki. Sakit.

--bersambung--

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang