Bab 1 | 2

9.5K 535 3
                                    

Lamunanku melayang saat mengamati deretan tanaman yang tidak lagi memperlihatkan tanda-tanda kehidupan. Batang-batangnya telah meranggas, seperti terhasut kemarau panjang yang tak berujung. Padahal, musim hujan sudah mulai menyapa di awal bulan ini.

Gambaran yang tidak jauh berbeda dengan keadaan ayah sekarang, bukan?

Setahun yang lalu, berbagai jenis tanaman dapur hidup tumbuh dengan subur di sudut taman itu. Buah tomat yang ranum menjadi pemandangan biasa setiap harinya. Bahkan, tak perlu jauh-jauh ke pasar untuk sekadar membuat sambal, karena pohon cabai milik ibu tak pernah absen untuk berbuah dengan lebat.

Dulu, ibu juga sering menghabiskan waktunya di lahan berukuran 3x6 meter itu ketika bosan berkutat dengan rak buku. Baginya, kedua tempat itulah spot terbaik untuk melepas penat, saat harus menyembunyikan diri dari segala kesibukan yang ada.

Tanganku terangkat, menghapus cairan bening yang menghangat di sudut mata.

Pandanganku beralih pada pot-pot yang tergantung rapi di bawah kanopi. Daun peppermint yang memenuhi mulut-mulut pot hingga daunnya menjuntai lebat itu kini menguning, batangnya pun telah mengering. Dulu daunnya tak pernah habis, walau hampir setiap hari dipetik untuk diseduh menjadi teh segar yang ditambah perasan lemon dan madu.

Tugas untuk mengurusi rumah--termasuk taman--kini diserahkan kepada Mak Sani, walau sesekali turut kubantu. Wanita yang telah berusia setengah abad itu dulu sering dimintai datang oleh ibu ketika ada acara atau kedatangan keluarga besar. Sehingga beliau tidak merasa canggung saat ibu sudah tidak ada, karena sudah tahu tugas apa saja yang harus dikerjakannya.

Pekerjaan Mak Sani rapi dan memuaskan. Namun tetap saja sentuhannya berbeda dengan ibu. Walaupun tanaman itu rajin disiramnya setiap hari dan dibersihkannya hampir dua pekan sekali, tanaman-tanaman itu tak bisa bertahan lama.

Mataku kembali mengembun. Ada sesuatu yang tiba-tiba menyeruak dari dalam dada. Ah, rupanya bukan hanya ayah dan tanaman-tanaman itu saja yang merindukan ibu, tapi juga aku.

Sebuah dering telepon membuyarkan lamunan. Aku segera bangkit dari kursi dan sedikit berlari untuk meraih ponsel pintar yang tergeletak di atas meja makan. Di sampingnya masih tertata piring yang tadi kusajikan. Mataku sempat melirik sekilas isinya yang belum tersentuh, sebelum membaca nama yang muncul dalam layar.

Teh Naura is calling ...

"Assalamualaikum," sapaku setelah menggulir ikon hijau di layar ponsel. 

"Waalaikum salam. Hana, bagaimana keadaan di rumah?" Suara renyah itu mengingatkanku pada suara ibu.

Kutarik sebuah kursi, lalu mendudukinya dengan hembusan napas panjang yang terasa berat. Aku tahu beban yang hendak menyeruak dalam dada itu harus segera dibagi dan kak Naura lah orang yang tepat. Namun, tidak untuk saat ini. Ia tengah merawat putrinya yang sedang sakit tipus.

"Alhamdulillah, rumah baik-baik saja. Hanya saja, ayah sedang merajuk." Tawaku terasa hambar. "Bagaimana kondisi Yasmin sekarang?"

"Oh, Yasmin alhamdulillah sudah membaik. Kata dokter hari ini sudah boleh pulang. Hana, tapi ayah baik-baik saja, kan? Apa perlu teteh pindah sementara dulu ke rumah sampai ayah membaik? Mas Ryan pasti ngerti kok." Terdengar nada cemas dalam suaranya.

"Ayah baik-baik aja kok, nggak usah khawatir," tenangku. "Mungkin selain perhatian dari putri-putrinya, ayah membutuhkan seorang teman. Bukan sekadar teman mengobrol biasa, tapi teman yang bisa untuknya berbagi perasaan."

"Maksud Hana?"

"Hm, apa perlu kita carikan ayah seorang pendamping saja? Maksud Hana, kita carikan ayah seorang istri."

Teh Naura diam sejenak, mungkin mencoba untuk mencerna. Memiliki seorang ibu tiri bukanlah kondisi mustahil bagi kami, walau aku sendiri belum begitu siap untuk menerimanya. Setidaknya, aku harus mulai memikirkannya dari sekarang.

"Hana yakin kalau pernikahan bisa membuat ayah bangkit lagi?"

"Kita coba saja," jawabku sambil menggigit bibir bagian bawah. "Setidaknya kita sudah berikhtiar membuat ayah kembali bahagia."

--bersambung--

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Where stories live. Discover now