Bab 14 | 2

4.1K 367 9
                                    

Mia memarkir Beat di sebuah halaman kafe yang terkesan asri, walau tidak terlalu luas. Bangunan bergaya vintage yang dipadu dengan sentuhan bergaya modern itu sedikit mencolok dibanding bangunan lain di sekitarnya.

S-O-T-T-A

Aku mengeja kata yang terpampang di atas pintu masuk dengan ukuran besar. Background inilah yang kulihat di foto tante Sofi waktu itu.

"Mari masuk," ajak Mia. "Kayaknya aku pernah beberapa kali ke sini, diajak teman. Ada menu eskrim enak yang cukup terkenal di sini."

Aku mengekori Mia. Seorang pelayan menyapa kami di samping pintu masuk, lalu menunjukkan bangku dengan dua kursi yang kosong. Kafe terlihat ramai dipenuhi pengunjung dari berbagai usia.

Mia menyebutkan sebuah menu eskrim yang tadi diceritakannya, ditambah roti bakar matcha saat pelayan itu menyodorkan buku menu.

Telunjukku berselancar dengan bingung dari satu menu ke menu berikutnya. Terlihat enak semua.

"Aku mau wedang aja dulu. Sambil lihat-lihat menunya," putusku akhirnya. "Eh, Mas." Aku memotong langkah pelayan yang selesai mencatat pesanan di tablet khususnya.

Laki-laki itu menoleh dan kembali.

Keraguan sejenak menyergapku. "Pak Fathannya sedang ada?"

Ah, tentu saja aku hanya sok akrab.

Pelayan itu sejenak termenung. "Mas Fathan?" Mulutnya seperti sudah terbiasa memanggil nama itu dengan sebutan 'Mas'.

"Ah iya. Apa sedang di sini? Saya ada perlu sebentar."

"Oh, Mas Fathan sudah kembali sekitar 2 jam yang lalu, Mbak. Permisi." Laki-laki berseragam hitam dengan apron mocca itu segera undur diri.

Aku melirik Mia.

"Coba minta nomor kontaknya. Temanku soalnya udah nggak nyimpen nomor kak Fathan."

Aku mengiyakan dengan bergegas ke meja kasir, hendak bertanya pada salah satu pelayan.

"Maaf, kalau Mas Fathan biasa ke sini hari apa saja, Mbak?"

Wanita berusia sekitar dua puluhan itu sedikit terkejut dengan pertanyaanku.

"Ya, Mbak?" Sepertinya dia enggan menjawab dengan ceroboh.

Aku mengeluarkan ponsel dan memperlihatkan foto Tante Sofi dengan seorang laki-laki muda kepadanya.

"Ini Fathan sama ibunya, kan? Pemilik kafe ini? Saya temannya. Maksudnya, orangtua saya teman ibunya Mas Fathan."

Wanita itu mengangguk.

"Jadi selain hari jum'at, hari apa lagi Mas Fathan biasanya ke sini?"

"Hanya di hari jum'at beliau melakukan kunjungan dan pengecekan ke kafe."

Aku bergeming.

"Kalau kartu nama atau nomor kontaknya ... bisa minta?" tanyaku hati-hati. Tentu saja pertanyaanku ini terlihat lebih mencurigakan.

Sudah seperti seorang stalker saja, kan?

"Mohon maaf, Mbak. Kami tidak bisa memberikannya tanpa persetujuan Mas Fathan." Kedua belah tangannya ditangkupkan di depan dada, dengan sebuah senyum sopan menghiasi bibir.

"Oh, baik." Aku kemudian pamit seraya mengucapkan terima kasih dengan senyum lebar.

"Gimana?" tanya Mia.

Aku mengendikkan bahu. Mia mengangguk pasrah.

"Dia hanya datang setiap hari jum'at." Kutarik kursi di hadapan Mia dan mendudukinya dengan malas.

"Mau aku ke sini lagi minggu depan? Jum'at jadwalku hanya sampai jam sebelas."

"Tidak perlu." Aku menggeleng. "Aku mungkin akan menitipkan ini ke pelayan." Kutarik  sebuah kotak persegi panjang pipih berwarna merah marun dari dalam kantong belanja yang kubawa.

Mia kembali mengangguk, mengerti.

Lima puluh menit berlalu, kami telah selesai dan bergegas menuju meja kasir.

"Tolong titip ini saja. Sampaikan dari Hana. Raihanah. Ini kartu nama saya. Ada nomor teleponnya." Kuserahkan kotak itu pada petugas kasir yang tadi kuajak ngobrol. Sengaja menekankan suara pada kata 'nomor telepon', berharap pelayan itu mengerti jika aku meminta Fathan yang menghubungiku nanti.

Wanita yang memiliki lesung pipit itu tersenyum penuh arti.

Apa aku sudah benar-benar seperti fans gila yang sedang mengejar-mengejar idolanya?

--bersambung--

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang