Bab 10

4.5K 367 6
                                    

Senin, 1 Oktober 1984

Sepanjang perjalanan menuju kantor, aku merasa jadi pusat perhatian. Maksudku, tiba-tiba banyak mata yang memandang ke arahku. Tidak seperti biasanya.

Sepanjang jalan itu pula aku bertanya-tanya, apakah ada sesuatu yang aneh di wajahku? Rasanya jengah diperhatikan orang.

Jawabannya kemudian kudapatkan saat seorang teman kantor mengatakan bahwa penampilanku sangat lain. Padahal aku hanya mengikat rambut dan menyelipkan sebuah jepit mungil di rambut sebelah kanan.

Sebenarnya, tadi pagi sempat kusapukan juga bedak tipis-tipis, sih. Tanpa gincu tentunya, karena aku belum terlalu terbiasa memakainya.

Namun, tiba-tiba saja Nurul menarik tangan dan mendudukanku di kursinya. Tangannya sibuk mencari sesuatu di dalam tas, lalu mengeluarkan sebuah stik seukuran gincu milik Puji. Katanya itu lip gloss, pemberian Om nya yang baru pulang dari Amerika.

Nurul mulai melakukan aksinya. Rasa lembap dan sedikit berminyak mulai kurasakan di atas permukaan bibir. Dia lalu memberiku sebuah cermin. Dan tara, aku suka sekali dengan warnanya yang serupa warna bibir, tidak mencolok.

Tentu saja setelah itu aku menjadi bahan guyonan teman-teman kantor. Apalagi saat Rio melihat penampilanku, dia tak berkedip. Ajaib!

Aku jadi tak sabar ingin segera pulang, dan bertemu dengan Ilham! Ya, aku ingin tahu reaksinya saat melihatku memakai lip gloss dan jepit rambut di kepala.

Lalu, apa tanggapannya saat kami bertemu di toko buku langganan? Dia tertawa terpingkal-pingkal sambil menunjuk-nunjuk wajahku. Menyebalkan! Tentu saja pengunjung toko buku ikut menoleh ke arahku. Tanpa basa-basi, aku pulang meninggalkannya dengan kesal.

__

Selasa, 2 Oktober 1984

Hari ini aku berangkat tanpa menggunakan riasan apa-apa di wajah dan kepala, seperti sebelumnya. Kekesalanku pada Ilham tampaknya belum hilang.

Sialnya, hari ini justru Nurul tampak lebih bersemangat. Dia memaksa dan mendudukkanku lagi di kursinya. Kali ini yang dikeluarkannya adalah sebuah dompet berisi peralatan rias.

Ya Ampun! Apa itu? Banyak sekali!

Nurul bilang dia sampai meminjam dompet kosmetik milik kakaknya untuk mendandaniku.

Pertama-tama, dia mengeluarkan cairan kental semacam alas bedak. Mengoleskan dan meratakannya pada wajahku, lalu menyapukan bedak di atasnya menggunakan spon.

Nurul kemudian mengeluarkan sebuah capitan semacam gunting yang diarahkannya ke bulu mataku. Aku sedikit meringis saat alat itu dia jepit.

Setelah aku sedikit berontak dan hendak kabur, dia menyimpan alat jepit bulu matanya, lalu mengeluarkan sebuah pensil hitam. Apa dia mau mencorat-coret wajahku?

Rupanya itu pensil untuk mempertajam bentuk mata. Eyeliner namanya. Aku sampai harus melihat ke atas dan ke bawah saat tangannya beraksi. Sangat melelahkan.

Ternyata masih belum selesai, Nurul mengeluarkan eye shadow, tapi buru-buru kutolak. Bersyukur dia tidak memaksa, tapi menggantinya dengan memulaskan gincu warna merah muda.

Ya, hari ini aku jadi bahan eksperimennya. Katanya waktu kecil dia pernah bercita-cita untuk menjadi perias wajah.

Lama aku mematut diri di depan cermin. Benarkah yang kulihat dalam cermin itu aku? Rasanya aneh melihat diriku dalam penampilan seperti ini. Pantas saja kemarin Ilham tertawa sampai menjuk-nunjuk wajahku seperti melihat seorang badut. Sepertinya aku memang tidak cocok dengan tampilan seperti ini.

Sayangnya Nurul mencegah tanganku saat akan menghapusnya. "Kamu itu cantik, Zahra," katanya.

Saat yang lain sudah pulang lebih dahulu, aku pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka, bermaksud menghapus lipstik dan eyeliner. Tiba-tiba Rio memanggilku dan mengajakku untuk pulang bersama.

Pulang bersama? Bukankah arah rumah kami berbeda? Katanya dia mau ke rumah pamannya di gang Mawar, tak jauh dari rumahku. Aku tak begitu mempersoalkannya, lalu kuiyakan saja tawaran itu.

Lalu, sore ini aku pulang bersama Rio, laki-laki selain Ilham. Untuk pertama kalinya.

--bersambung--

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang