Bab 18

4.4K 397 8
                                    

Untuk kesekian kalinya, kukosongkan tas dengan perasaan cemas, sambil mengingat kira-kira di mana benda berukuran mungil itu bisa tercecer. Semua barang dari dalam tas sudah kujejerkan rapi di atas meja, tanpa ada yang tersisa. Benda seukuran ibu jari itu belum juga kutemukan.

Aku memijit kepala sambil terduduk lesu di atas kasur. Ruang tamu dan ruang makan sudah dua kali kugeledah, termasuk halaman depan. Hasilnya masih nihil.

Sebab uring-uringan setelah mendapat chat tidak mengenakkan dari Fathan, mataku malah susah terpejam. Tadinya hanya ingin membaca ulang materi yang akan kusampaikan di kelas untuk besok pagi--yang biasanya kulakukan selepas salat malam, tiba-tiba tersadar jika flashdisk yang biasa kugunakan untuk menyimpan materi dalam bentuk multimedia sudah tidak ada di tempatnya semula. Sementara hardisk eksternal yang sudah kucadangkan sedang bermasalah pada port konektornya.

Apakah terjatuh saat di kafe?

Aku melirik jam yang tergantung di tembok. Sudah pukul sepuluh lewat lima menit. Kalaupun malam ini nekat kembali ke sana, sepertinya akan percuma. Kafe sudah tutup lima menit yang lalu. Belum tentu juga benda itu bisa kutemukan di sana.

Pikiranku buntu hingga yang terpikir hanyalah menghubungi sebuah nomor.

Hana: Maaf jika mengganggu. Apa bisa minta tolong?

Butuh waktu cukup lama untuk bisa menyakinkan diri supaya mau mengirimkan pesan itu. Tentu dengan menyenyampingkan ego dan gengsi. Kepalaku kemudian dipenuhi bermacam praduga saat pesannya tidak langsung dibaca. Apakah marah, sedang sibuk, ataukah sudah tidur?

Aku memang tidak memiliki keistimewaan untuk menuntut pesanku segera dibalas. Jangankan dibalas, dibaca saja sudah harus bersyukur, bukan?

Ketika kuputuskan untuk menghapus pesan--yang setelah tujuh menit berlalu--tidak mendapat balasan, pada detik yang sama pesan itu pun terbaca.

Fathan: Ya?

Aku kembali mengatur napas dan berusaha melupakan percakapan terakhir kami.

Hana: Maaf, sepertinya ada barang yang terjatuh saat di kafe. Apa memungkinkan untuk bisa mengeceknya? Mungkin masih ada karyawan yang belum pulang.

Fathan: Sebentar.

Kata 'sebentar' yang Fathan tuliskan berhasil membuatku terdiam dengan kepala tetap dipenuhi tanda tanya.

Sepuluh menit berselang masih belum ada kabar. Aku semakin tidak sabar.

Fathan: Barang apa yang terjatuh?

Hana: Flashdisk.

Fathan: Warna?

Hana: Metalic

Fathan: Seharusnya masih ada kalau memang terjatuh di sana. Sudah diperiksa dalam tas dan di jalan pulang?

Tidak pernah terpikir dalam kepalaku untuk memeriksanya sepanjang Jalan Kapten Tandean hingga Tanjung Barat. Terlalu jauh dan terlalu beresiko. Kalaupun tidak ditemukan di kafe, mungkin harus segera kurelakan. Semuanya terjadi murni karena kecerobohanku.

Hana: Tas sudah beberapa kali kuperiksa, tidak ada.

Fathan: Oke

Hana: Bagaimana?

Fathan: Belum ketemu. Saya bantu pantau lewat CCTV.

Hana: Tolong kabari jika sudah ketemu. Mau kupakai untuk mengajar besok pagi.

Fathan: Oke

Hana: Terima kasih.

Lima menit kemudian, Fathan menghubungiku lagi.

Fathan: Security menemukan ini di tempat parkir. Mungkin terjatuh saat mengeluarkan kunci?

Fathan mengirim foto flashdisk metalic dengan gantungan bunga sakura yang sedang kucari. Aku menghela napas penuh syukur.

Hana: Betul, yang itu. Jam berapa besok kafe buka?

Fathan: Jam 10

Aku menepuk dahi. Jam 7.30 kuliahku dimulai.

Hana: Karyawan yang paling pagi datang?

Fathan: Jam 8

Hana: Tidak bisa lebih pagi?

Fathan: Coba share location.

Hana: Untuk?

Fathan: Siapa tahu bisa dititipkan ke karyawan yang tinggal di dekat sana.

Kubagikan lokasi terkiniku.

Hana: Sekali lagi, terima kasih.

Fathan: Ya.

Akhirnya malam ini aku bisa pergi tidur dengan tenang, setelah dibuat kesal oleh orang yang sama.

Awalnya kukira Fathan akan enggan membantu, mengingat obrolan chat kami sebelumnya. Bersyukur dia tidak mengungkit.

--bersambung--

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Where stories live. Discover now