Bab 6 | 2

4.7K 406 5
                                    

Ada bara yang seperti membakar ulu hati. Panas. Entah apa yang ibu rasakan saat itu, aku tak bisa menangkapnya dengan jelas.

Cairan bening tiba-tiba saja mengalir di pipi. Apakah aku sedang cemburu?

Kembali kubuka halamannya. Demi menjawab rasa penasaran yang seperti hendak meledak.

Apakah saat itu mereka hanya berteman?

Jum'at, 14 September 1984

Ilham kembali menelepon. Dia memintaku agar mau menemaninya membelikan cincin pertunangan untuk Sofi. Katanya akan menjemputku sepulang kerja.

Aku bingung harus menolaknya seperti apa. Apakah tidak aneh jika seorang sahabat yang menemaninya pergi, bukan wanita yang akan dilamarnya?

"Sofi masih belum pulang dari rumah neneknya," jawab Ilham berulang kali saat kutanya kenapa tidak membelinya dengan Sofi saja.

Tapi kan, bukannya bisa beli kalau Sofi sudah sampai? Atau biar Sofi saja yang membelinya sendiri di sana.

Bukan Ilham namanya kalau tidak bisa memaksakan kehendaknya padaku. Tepat jam pulang kerja, dia sudah berdiri di depan lobby. Aku tak bisa lagi menghindar meski harus memutar jalan pulang sekalipun.

"Rasanya janggal jika melewatkan salah satu momen bersejarahku tanpamu." Itu yang dikatakan Ilham.

Aku hanya bisa menghentikan langkah saat mencoba mencerna kalimatnya. Terasa menyenangkan, sekaligus menyakitkan.

Ah, apa yang kupikirkan? Bukankah Ilham hanya seorang sahabat saja bagiku? Tidak lebih. Tidak pernah lebih! Dan tidak akan pernah lebih!

Tadi sore akhirnya aku menemaninya membeli sebuah cincin dengan batu amethyst yang cantik di tengahnya.

Cincin itu kucoba dan ternyata muat di jari manisku!

Ilham memegang tanganku sambil memandangnya takjub. "Zahra, apakah Sofi akan suka dengan cincin ini?" Ada binar bahagia di matanya.

Aku hanya mengangguk dan menahan air mataku untuk tidak jatuh. Aku tidak ingin jadi penghalang di antara mereka. Terlebih, aku juga mengenal Sofi dengan baik selama 7 tahun terakhir, semenjak Ilham bilang kalau dia menyukai Sofi.

Aku seharusnya mendo'akan kebahagiaan mereka saja, bukan?

Tubuhku terhenyak. Hatiku seperti tercabik. Apa yang terjadi? Bukankah ayah mengenal ibu semenjak SMA? Jadi selama itu mereka hanya bersahabat?

Aku menutup buku harian milik ibu. Mataku tak kuat lagi untuk melanjutkan. Apa yang ibu rasakan saat itu? Ia pasti sangat terluka.

Jika ibu masih ada, aku sudah berlari untuk memeluknya.

Air mataku semakin menderas.

Aku masih tergugu sendirian, di ruangan yang dikelilingi dengan barang-barang miliknya. Memegangi dada yang terasa sesak.

Terdengar suara ayah memanggilku. Aku segera menghapus bekas-bekas air mata yang membuat wajahku terlihat berantakan. Tanganku kemudian membereskan kembali isi kontainer, menepikan keenam buku harian itu.

Andai ibu tahu jika buku hariannya kubaca, apa yang akan ibu lakukan? Apakah ia akan memarahiku?

Ibu, maafkan Hana. Hana tahu jika yang Hana lakukan adalah salah.

Ayah sedang sibuk dengan beberapa buku dan laptop yang terbuka, saat aku memasuki 'ruang membaca'. Sepertinya buku yang dicari ayah sudah ketemu.

"Dari mana saja tadi, Hana?" tanya ayah sambil tak melepaskan matanya pada buku yang sedang dipegangnya.

"Jurnalnya sudah ketemu?" Aku melewatinya, menyembunyikan tumpukan buku yang kubawa dari gudang.

"Belum. Tadi ayah minta Om Irfan saja yang carikan, lalu minta segera mengirimkan filenya jika sudah ketemu."

"Oh," balasku.

"Hana," panggil ayah. Ia mengangkat wajahnya dari balik buku. "Kenapa matamu, kamu menangis?"

Hampir saja air mataku kembali tumpah. Sejak kapan ayah perhatian lagi padaku?

Setahun belakangan, aku benar-benar kehilangan sosok ayah pada dirinya. Ayah terlihat seperti hidup di dunianya sendiri, tidak peduli pada sekelilingnya. Namun hari ini, ayah terlihat lain walau belum sepenuhnya kembali pada sosoknya yang dulu. Setidaknya dengan pertanyaan itu aku tahu bahwa ayah masih peduli kepadaku.

"Hana ...," kangen ibu!

"Hana tidak apa-apa, ayah," jawabku akhirnya.

--bersambung--







Jodoh Pasti Kembali [Completed]Where stories live. Discover now