Bab 20

4.4K 444 19
                                    

"Ayah sudah siap?"

Aku keluar kamar dengan menenteng  clutch senada dengan warna baju yang kukenakan. Merah muda. Hari ini kupadankan baju terusan panjang berbahan satin sutra dengan cape brokat sepinggang, juga kerudung dengan gradasi warna yang lebih terang.

Ayah keluar dari kamarnya dengan batik hem lengan panjang. Motif Puspa Garuda Kusuma dengan dominan warna kuning membuatnya terlihat lebih segar.

"Yang menikah itu putrinya pak Gatot yang bungsu, kan? Yang selebgram itu."

Ayah mengangguk. "Iya, Icha. Dulu kita pernah main ke rumahnya waktu pak Gatot masih jadi komisaris. Kalian pernah ketemu." Dirapihkannya kerah yang sedikit miring.

"Jadi pasti banyak orang terkenal yang hadir, ya? Kita ke sana lebih awal dan pulang secepatnya aja, kan? Pasti undangannya banyak."

"Iya. Paling Ayah ngobrol dengan teman sebentar."

Aku mengangguk, lalu bergegas meraih kunci mobil di gantungan yang menempel di dinding ruang keluarga. "Biar Hana yang nyetir."

Tiba di tempat resepsi dua puluh menit sebelum acara dimulai, ternyata kami sudah kesulitan mencari tempat parkir. Tamu undangan tumpah ruah, hingga banyak yang memarkir kendaraannya di kanan-kiri jalan, menambah kemacetan sabtu malam di ruas jalan Gatot Subroto yang mengarah ke jalan Rasamala Raya.

Kami memasuki gedung dengan antrian yang sudah cukup panjang selama lima belas menit. Seremonial acara berlangsung beberapa menit kemudian selama kurang lebih satu jam.

Ayah tengah berbincang dengan rekannya--saat dulu bekerja di perusahaan yang sama--ketika bertemu kembali dalam antrian, membuatku sedikit mati gaya karena tidak memiliki teman mengobrol. Isi mangkuk zuppa soup, piring dimsum, dan gelas infused water yang kuambil sudah tandas kucicipi. Aku hendak ikut mengantri di barisan poffertjes dengan topping eskrim, ketika sebuah suara memanggil.

"Hana?"

Aku menoleh ke arah panggilan.

Tante Sofi?

Terakhir kami bertemu adalah dua pekan lalu, saat aku mampir ke rumahnya untuk belajar membuat Swiss Roll Cake dan pulang diantar Fathan.

Melihat tante Sofi, mau tidak mau ingatanku kembali saat Fathan mengantarku pulang.

Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan di antara kami, hingga sampai di gerbang komplek, Fathan baru bersuara.

"Saya tidak antar sampai depan pintu, ya."

Aku mengiyakan. "Iya, tidak usah. Sudah diantar sampai depan rumah saja sudah alhamdulillah."

Sayangnya, saat mobil tepat merapat di depan rumah, Ayah tiba-tiba keluar. Fathan yang sudah bersiap menginjak pedal gas, mengurungkan niat. Tanpa mematikan mesin, dilepasnya sabuk pengaman, lalu membuka pintu untuk menemui Ayah.

Aku sengaja berjalan lebih cepat. "Ayah belum tidur? Maaf, ternyata sedikit macet, jadi tidak sesuai dengan yang Hana kabarkan tadi."

Ayah mengangguk, kemudian beralih pada Fathan.

"Saya Fathan, Om." Fathan menyalami Ayah. "Saya diminta Bunda untuk mengantar Hana. Karena sudah sampai dengan selamat, saya izin pamit." Dengan sopan Fathan undur diri lalu kembali ke dalam mobilnya.

"Siapa? Rasanya Ayah pernah dengar namanya."

"Fathan, putranya tante Sofi."

Ayah memandangku dengan tatapan aneh. "Jadi, tadi belajar bikin kue itu di rumah Sofi? Kalian sudah saling kenal?"

"Iya, Hana sudah dua kali bertemu tante Sofi. Di kafe anaknya sama di rumahnya."

"Untuk apa kamu menemui Sofi?" Ayah berjalan mendahuluiku, seperti kurang senang dengan apa yang kulakukan.

"Sudah Hana bilang, Hana hanya ingin menyambung tali silaturahim."

"Kenapa harus dengan Sofi dan keluarganya?"

Ayah masuk dan beranjak ke arah kamar.

"Ayah, sebenarnya Hana menemukan buku harian Ibu di gudang."

Ayah menghentikan langkah.

"Hana membaca semua yang Ibu tuliskan tentang Ayah, Ibu, dan tante Sofi."

Ayah membalikkan badan. Keningnya berkerut. "Apa?"

"Hana ... Hana berpikir Ayah membutuhkan teman hidup supaya tidak terlalu larut dalam kesedihan. Hana pikir Ayah dan tante Sofi bisa-"

"Cukup, Hana. Ayah mau istirahat sekarang."

Ayah masuk dan menutup pintu dari dalam. Aku hanya bisa menghela napas panjang.

"Kenapa, Hana?" Pertanyaan tante Sofi membuatku kembali tersadar dari lamunan. Aku hanya menjawab dengan senyuman.

"Sendiri?" tanyaku.

"Tuh!" Tante Sofi menunjuk putranya yang sedang berdiri di antara beberapa laki-laki seusianya yang sedang mengobrol. "Ferdy itu teman kuliahnya Fathan waktu S1."

Aku menoleh sambil mengangguk. Di saat yang sama, Fathan menoleh ke arah kami.

--bersambung--

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Where stories live. Discover now