Bab 29 | 2

4.8K 467 44
                                    

Aku terpekur di atas kursi setelah Salma melewatiku dan memanggil seorang mahasiswanya di luar.

Hampir sebulan lalu Profesor Rifky memanggilku dan mengatakan jika ada seorang ikhwan--rekan dosen beda jurusan--yang sedang mencari calon istri. Beliau merekomendasikanku, tapi segera kutolak.

"Memang hal terpenting yang harus dilihat pertama kali saat menerima pinangan seseorang adalah dengan melihat keshalehannya, tetapi Hana merasa belum siap dan tidak percaya diri jika bisa sekufu dengan beliau, Prof. Mungkin beliau bisa menemukan wanita yang jauh lebih baik dari Hana," jawabku saat itu.

Profesor Rifky berdehem sebelum menanggapinya. "Bu Hana, jika ada laki-laki yang hendak melamar memiliki pemahaman agama lebih baik dari Ibu, bukankah itu jauh lebih baik? Bu Hana sebagai istrinya kelak bisa dibimbing secara perlahan. Perbedaan pemahaman agama kalian juga tidak terlalu timpang. Maksud saya, Ibu juga punya pemahaman agama yang cukup baik. Sholehah. Sudah berhijab juga. Apa tidak sebaiknya dipikirkan atau didiskusikan dulu dengan keluarga?" Profesor memberikanku saran.

"Atau, jangan-jangan Bu Hana sudah punya calon lain?" Profesor menatapku curiga.

"Saya belum punya calon suami, tapi--"

"Ada yang Ibu sukai?"

Aku tidak menjawab. Entah bagaimana harus menjelaskannya.

Profesor Rifky menyilangkan tangan sambil memegang dagunya seraya berjalan mondar-mandir di hadapanku. Bersyukur Salma masih di dalam kelas kala itu.

"Baiklah kalau begitu. Berarti saya sudah dapat jawabannya, ya? Saya hanya bisa mendoakan supaya Bu Hana disegerakan menggenapkan separuh agamanya, dengan laki-laki yang Bu Hana cintai dan mencintai Ibu. Laki-laki memang memiliki hak untuk memilih, tapi wanita memiliki hak untuk menolak. Jadi tidak perlu merasa tidak enak karena menolak tawaran ini." Beliau mengangkat kedua tangan ke atas dengan mengulas senyum khasnya.

"Terima kasih, Prof. Saya benar-benar mohon maaf."

Laki-laki yang selalu rendah hati itu menggeleng sambil kembali ke meja kerjanya. "Tidak apa-apa, Bu. Jodoh itu memang penuh rahasia. Yang terpenting tetap bisa semangat menjalaninya."

Aku kembali berterima kasih atas pengertiannya.

Sebenarnya aku memang tidak sedang menunggu Fathan, hanya belum bisa menerima kehadiran laki-laki lain dalam hatiku. Mungkin jika pikiranku sudah kembali jernih, akan lebih mudah untuk menerima lamaran orang lain. Namun, tidak dalam waktu dekat ini kurasa.

Kendati sudah berusaha menghilangkan wajah Fathan dalam kepala, tapi kelebat bayangannya sering muncul di depan mata. Mati-matian berusaha melupakan dengan berhenti memikirkannya pun, semakin terasa berat menghimpit dada.

Entah berapa kali mataku seperti melihat mobilnya melintas di depan rumah. Kenapa aku harus berhalusinasi di pagi-pagi buta?

Ah, apa aku memang sudah gila? Jelas-jelas Fathan sedang menemani bundanya menjalani pengobatan. Mana mungkin dia sempat-sempatnya datang untuk sekadar melihatku?

Apa aku benar-benar sedang dirundung cinta? Cinta yang membawa duka dan mungkin hanya akan berakhir dengan air mata. Mungkin, sebaiknya segera kuselesaikan sebelum semuanya terlambat.

Salma benar. Seharusnya aku tidak membohongi diriku sendiri. Aku harus mau mengakui bagaimana perasaanku yang sebenarnya terhadap Fathan. Mengakuinya pada diri sendiri supaya tidak menimbulkan pertentangan batin. Dengan begitu, mungkin melepaskannya akan jauh lebih mudah. Merelakannya dengan tulus bahwa kami tidak ditakdirkan untuk bisa bersama.

Memiliki cinta yang tidak bisa diungkapkan itu memang menyakitkan. Namun, tidak mau berdamai dengan rasa kehilangan karena tidak bisa memiliki itu jauh lebih menyakitkan.

Setiap manusia yang diciptakan sudah ditentukan ajal, jodoh, dan rezekinya, bukan? Jadi, kita tidak perlu khawatir memikirkan siapa jodoh kita dan kapan akan dipertemukan dengannya. Sudah Allah atur semua. Bagian kita adalah taat dan ikhlas menerima semua ketentuan-Nya, dengan menjalani semua ikhtiar yang kita bisa.

***


Bersambung atau
Tamat sampai sini aja, nih?

Ditunggu komennya, ya 😅🙏

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Where stories live. Discover now